Indonesia merupakan negeri pluralistik di dunia. Segala bentuk keanekaragaman suku, agama, ras dan golongan melahiran beraneka ragam budaya yang tercipta. Keanekaragaman itu terwujud dalam bentuk rumah, lagu daerah, tarian daerah, senjata, makanan khas, pakaian, bahasa dan berbagai macam bentuk upacara adat yang bermacam-macam. Semua bentuk kebudayaan daerah itu merupakan kekayaan budaya nasional Indonesia.
Dan meskipun berbeda-beda kita tetaplah satu yaitu bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan semboyan bangsa yaitu Bhineka Tunggal Ika. Yang artinya kita berbeda satu sama lain, namun kita tetap satu rumah yaitu Indonesia.
Akan tetapi kesadaran kita akan pentingnya menjaga segala bentuk kebudayaan yang dimiliki oleh bumi pertiwi masih rendah. Faktanya rasa saling menghormati perbedaan di antara kita masih memprihatinkan. Contohnya berbagai bentuk ucapan dan tulisan bernada SARA seringkali kita jumpai di media. Terutama di sosial media.
Ujaran kebencian berisi SARA pun pernah menggegerkan masyarakat DKI Jakarta. Penghinaan atas agama Islam yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok pun melukai umat islam di Indonesia. Memang, tidak pantas rasanya ujaran SARA tersebut terlontar dengan begitu lugasnya dari mulut orang sekaliber Gubernur.
Ibarat peribahasa 'mulutmu harimaumu', segala bentuk tindakan SARA tidak akan pernah menguntungkan bagi pelaku. Hal itu justru seperti menggali lubang kehancuran bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu, sepandai apa pun kita harus pandai juga menjaga lidah.
Kebebasan mengeluarkan pendapat dan gagasan memang sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28. Di sana dijelaskan dengan lugas bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul,mengeluarkan pikiran denan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Akan tetapi, kemerdekaan tersebut tidaklah bersifat mutlak apalagi menyinggung unsur SARA.
SARA dalam pilkada tidak hanya mengingkari kenaekaragaman bangsa Indonesia namun juga mencederai proses demokrasi itu sendiri. Pasalnya, SARA menjadikan poitik demokrasi kita kental akan unsur identitas dan mengabaikan politik rasional yang semestinya. Hal ini terjadi karena SARA membuat maasyarakat hanya sekedar melihat kemasan tanpa mau meneliti isinya.
Ibarat memilih kucing dalam karung. Masyarakat yang sudah terlanjur terhasut oleh isu SARA seringkali sudah antipati terhadap informasi sang calon. Baginya, paslon pilihannya sudah harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Tentu hal ini sangat berbahaya dan merugikan bagi demokrasi kita.
Demokrasi yang sudah ternodai SARA tidak akan pernah menghasilkan pemimpin yang kredibel dan mampu bekerja. Yang pada akhirnya masyarakatlah yang paling dirugikan. Oleh karena itu, baik pemerintah maupun partai politik hendaknya bersinergi bersama untuk mencegah berbagai bentuk SARA dalam pilkada 2018 ini.
Antisipasi SARA dalam pilkada bisa dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya pemerintah bekerja sama dengan kominfo untuk menindak tegas para pelaku SARA di media sosial. selain itu, bisa juga bekerja sama dengan pihak media sosial untuk memperketat pembuatan akun baru.
Pasalnya, dari pengalaman sebelumnya SARA banyak dilakukan oleh akun-akun tak bertuan yang semakin hari semakin membludak untuk menyerukan SARA. Dengan diperketatnya aturan pembuatan akun baru maka setidaknya meminimalkan pelaku SARA yng tidak bertanggungjawab tersebut.
Begitu pula dengan partai politik, mereka bisa mengadakan seminar ataupun dialog anti SARA yang berguna untuk mendidik masyarakat. Hal ini pun sudah dilakukan oleh PDI Perjuangan. Partai besutan Megawati tersebut mengadakan diskusi publik dengan tema Politik SARA dan Pilkada 2018 (Media Indonesia, 24 Januari 2018). Semoga kedepannya, partai-partai lain pun tergerak hatinya untuk mengadakan kegiatan serupa.
Sekali lagi, sebagai bangsa yang beranekaragam, maka seharusnya kita tetap berpegang teguh pada 'Bhineka Tunggal Ika'. Segala bentuk keanekaragaman kita adalah sebuah kekayaan bumi pertiwi yang wajib dijaga kelestariannya. Menghina salah satu di antara kita hanyalah menghina diri kita sendiri sebagai bangsa Indonesia. Begitu pula dalam momen pilkada nanti.
Pilkada merupakan hajatan kita bersama, mencari sosok pemimpin yang mampu memangku pluralisme bangsa. Oleh karena itu, buang jauh-jauh mereka yang bersenjatakan SARA dalam kontes demokrasi nanti. Karena yang SARA tak layak menjadi pemimpin di atas keanekaragaman bangsa.
 Purworejo, 15022018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H