Seorang pemuda bertubuh kurus tergeletak di lantai dalam posisi tertelungkup. Jaket merah tua yang ia kenakan sedikit terbuka sehingga tampaklah warna kecoklatan kulit pinggangnya. Rambut hitam spike-nya agak berantakan dan wajahnya tidak karu-karuan. Kemudian ia mengubah posisi badannya hingga menghadap ke samping. Sebuah guratan tampak di sepanjang pelipisnya, dengan memasang tampang cemberut ia memegangi limpanya sambil menggumam tidak jelas.
Hampir dua puluhmenit ia mempertahankan posisi, ekspresi, dan gumamannya. Namun, kini bulir-bulir peluh menetes di sekitar wajahnya. Tak lama ia tiba-tiba tersenyum dengan mata yang masih terpejam. Mungkin pemuda kurus itu mencoba untuk meghibur diri dan mengusir pikiran negatifnya, terbukti dengan suramnya kondisi di sekitar area pemuda itu tergeletak bahkan nyamuk-nyamuk pun enggan mendekat. Dan senyuman yang ia paksakan pun hanya bertahan beberapa detik, kemudian ia melanjutkan ritual gumamannya lagi.
Tuk! Tuk! Tiba-tiba sebuah suara membangunkan pemuda kurus itu dari aura kelamnya. Ia bersegera bangkit dan membereskan wajah kusutnya kemudian melepas jaketnya yang membuat ia berkeringat. Memang seingat dia, tidak ada seorangpun yang menyuruhnya mengenakan jaket tebal itu di musim kemarau begini. Dirinya hanya meyakini bahwa ia termasuk golongan orang-orang yang berpikir melawan arus, out of the box, anti mainstream dan istilah-istilan kontradiktif lainnya. Ia mengklain bahwa dengan bertindak demikian, ia akan mengaktifkan kembali otak kanannya yang kini ditumpulkan oleh tugas-tugas kuliah hukumnya. Dan terkadang ia sedikit menyesal kenapa tidak dari dulu ia masuk universitas seni.
Setelah pemuda itu menggantungkan jaketnya di gantungan yang ada di balik pintu, ia pun meraih handphone yang sedang ia charge. Tanpa melihatnya, ia langsung kembali tiduran dikasur. Punggungnya terasa sakit jika harus berlama-lama berbaring di lantai tanpa alas apapun. Namun, sebelum memutuskan untuk membaca pesan teks yang baru saja sampai itu, ia kembali bermain-main dengan pikirannya. Ia membuat asumsi-asumsi dan prediksi siapa yang telah mengiriminya pesan singkat malam-malam begini. Memang sekarang baru pukul 9.30, tapi karena ia terbiasa tidur lebih awal, akan merasa aneh jika ada seseorang yang meng-sms-nya.
Pemuda itu kembali memejamkan mata sipitnya, meletakkan handphone itu di samping kepalanya dan memulai proses berpikir. Ia menyusun beberapa kemungkinan di dalam otaknya, menggerak-gerakkan jarinya di udara, hingga pose mengelus-elus dagu layaknya detektif yang sedang memecahkan sebuah kasus pembunuhan. Ia memang penggemar berat Sherlock Holmes. Dan tak seperti kebanyakan laki-laki seusianya yang senang bermain gitar atau poker atau catur, pemuda itu lebih senang berkelana di alam pikirannya. Melakukan petualangan layaknya sebuah karakter game MMORPG hingga tenggelam dalam pikiran melankolik layaknya filosof. Ia lebih memilih bermian dengan pikirannya dibanding dengan gitar atau poker atau catur karena memang ia tidak bisa memainkannya. Karena itu banyak diantara teman-teman satu satu asramanya yang meragukan bahwa pemuda itu seorang laki-laki, dan ia hanya menanggapinya dengan sebuah cengiran. Demi kembali aktifnya otak kanan, pemuda itu rela disangka "apa-apa" oleh temannya asalkan sangkaan itu tidak bertentangan dengan norma dan peraturan perundang-undangan yang ada, begitulah pikirnya.
Pemuda itu mulai menyebutkan satu nama. Ia menduga bahwa orang yang namanya ia sebutkan itu adalah dalang di balik sms misterius ini. Ia menganggap sms itu misterius karena dikirim pada malam hari diluar jam terbangnya. Tapi sesaat kemudian ia membantah hipotesisnya dengan menggeleng- gelengkan kepala. Firza, sang terduga pengirim pesan itu tidak mungkin menjadi pelaku sms karena ia sendiri pernah mengatakan pada pemuda itu kalau dua bulan ini ia akan sibuk mendampingi dokter pada sift malam di rumah sakit. Jadi tidak mungkin ia meng-sms-nya di tengah-tengah tugas praktiknya kecuali ia bertemu dengan suster ngesot dan lebih memilih untuk meng-sms pemuda itu ketimbang teriak.
"Siapa lagi ya? Fathir? Dia tidak mungkin sms kecuali kalau lagi ada keperluan. Orang tuaku? Aku yakin mereka sudah berada di alam mimpi sana. Pacarku? Aku kan tidak punya pacar....." Setelah mengucapkan kalimat terakhirnya, ia sedikit termenung cukup lama. Mengingat semua penghuni asrama laki-laki Raya Pasundan ini sudah mempunyai pacar kecuali dirinya.
Namun setelah mendeklarasikan perubahan statusnya dari seorang cowok menjadi ikhwan, ia menekan perasaan suka berlebihnya terhadap seseorang dan menjaga pandangan layaknya kakak-kakak anggota organisasi pergerakkan Islam dan dakwah kampus yang sering ia temui. Ust. Hamim, guru privat bahasa arabnya pun pernah berkata bahwa pemuda itu beruntung karena belum terjerumus ke dalam maksiat yang biangnya berawal dari pacaran kemudian berkhalwat dan banyak diakhiri dengan ikrar mendadak di KUA. Beliau juga menambahkan bahwa pemuda seperti pemuda itu sudah agak jarang ditemukan sehingga harus dilestarikan keberadaannya. Karena sense of humor Ust. Hamim yang cukup tinggi itu, pemuda itu tak pernah bosan mengikuti setiap pelajaran bahasa semitik itu meski hanya bermodal tekad dan memori pas-pasan. Ia mengakui bahwa mempelajari bahasa arab membuatnya kepayahan karena disana ia dituntut untuk banyak menghafal kosakata yang bentuknya sangat kompleks. Ya, pemuda itu dituntut meski tidak bersalah apa-apa.
"O mungkin ini sms dari Yudho yang mengumumkan kalau mata kuliah Bu Ulil besok libur" ucapnya yakin.
BRAKK!! Tiba-tiba pintu kamar pemuda itu dibuka dengan sangat kasar. Untung saja sang pintu tidak kembali memantul menghantam wajah orang yang membukanya. Tapi disini bukan sang pintulah yang murka karena telah diperlakukan sewenang-wenang, namun justru pemuda itu yang kini tampak dongkol, tatapannya menajam dan bibirnya mengerucut. Ia kesal karena orang yang berdiri di pintu kamarnya itu telah menghancurkan fantasi berpikirnya. "Mulya!" teriak orang itu kemudian.
Seorang lagi pemuda kurus, namun lebih kurus dibanding pemuda itu, sehingga ia biasa disapa dengan si kerontang. Kini ia tampak jelas di pupil mata pemuda yang disapa Mulya itu. Ia tampak terganggu dengan pemandangan yang ia lihat. Penampilan temannya yang satu ini memang biasa saja, sama-sama kurus dan tinggi, tapi selalu tampil rapi dan formal ketika keluar. Namun yang kini ia lihat seolah seperti sesosok manusia tanpa pakaian atas alias bertelanjang dada, dan hal itu membuatnya syok namun tetap ia pendam sehingga yang tampak hanya ekspresi datar. Pemuda itu teringat kalau musim kemarau ini sedang puncak-puncaknya.
Pemuda yang diduga bernama Arif itu adalah teman satu jurusan Mulya di kampusnya. Meski tampak seperti batang pohon yang akan roboh jika angin bertiup, ia adalah mantan atlit panah yang menjuarai berbagai turnamen di tingkat nasional. Dan kebetulan Arif memiliki pola pikir yang sama dengan pemuda itu sehingga terjadi keakraban diantara mereka berdua hingga banyak diantara teman-teman satu asrama mengiranya sebagai dua sejoli. Namun hal itu tak berlangsung lama karena kemudian Arif memiliki pacar, yang satu organisasi dengannya.
"Cari makan yuk! Laper nih" ajak pemuda kurus yang bernama Arif itu.
"Sekarang jam berapa? Udah malem gini warung pada tutup lah..."
"Sok tau! Ayolah...kamu juga kelaparan kan? Keliahatan kok dari bentuk wajahmu yang kusut itu"
"Haahh...iya sih. Ya udah, ayo! Sebelum kita mati kelaparan" pemuda itu segera bangun dari tidurnya dan mengenakan jaket merahnya kembali. "Kan gak lucu juga kalau sampai tersebar berita bahwa telah ditemukan dua sosok mayat mahasiswa fakultas hukum Universitas Garuda di kamar kos-kosannya yang diduga mati karena kalaparan. Apa kata Menteri Pendidikan nanti??"tambahnya.
Setelah mengunci pintu, mereka pun berjalan keluar asrama dan memulai petualangan untuk berburu makanan di tengah-tengah gelapnya malam yang semkain larut. Dengan sisa-sisa pikiran positifnya, kedua pemuda generasi bangsa ini berjalan menyusuri gang dan akhirnya tiba di pinggir jalan utama. Tekad baja mereka kerahkan dan dengan segala cara berusaha menepis sugesti buruk bahwa mereka tidak akan mendapat makanan dan akhirnya gugur di tengah medan pencarian. Sungguh kematian mahasiswa yang sangat tidak heroik.
"Tuh kan. Udah pada tutup. Yang ada Cuma martabak, roti bakar sama bakso. Itu kan menu-menu yang harus dihindari mahasiswa di akhir bulan" ucap Mulya penuh perhitungan.
"Gini aja deh. Nanti mentok-mentok kita patungan buat beli bakso" Arif mengerahkan segenap ide terbriliannya. Namun sayang ide itu tidak brilian sama sekali di hadapan pemuda itu karena ia memang tidak suka makan bakso kecuali bakso yang dijual di kampung halamannya sendiri, di Ciamis. Akhirnya, dengan semangat pencarian yang semakin tereduksi oleh waktu, seluruh kompleks kelurahan Babarsari telah berhasil mereka jamah dengan tanpa hasil yang signifikan. Semua warung-warung makanan yang terpusat di tempat itu telah tutup. Semua pagar telah dikunci bahkan tak jarang menemukan warung yang memasang tulisan "dicari lowongan kerja" yang ditempel di dinding depan.
Kedua pemuda itu berdiri lama setiap warung yang memasang tulisan seperti tadi. Mereka pikir mereka dapat melamar menjadi karyawan di tempat itu, lumayan untuk membiayai "latte factor" atau "bocor halus" mereka. Latte factor adalah kegiatan beranggaran yang telah menjadi kebiasaan dan cukup sulit dihilangkan. Sebagaimana Arif, ia memiliki kebiasaan main sehingga selalu menghabiskan uangnya untuk jajan dan membeli bensin, sedangkan pemuda itu, Mulya, memiliki kebiasaan membeli buku dan kalaplah jika ia sedang berada di bazaar buku atau bookfair yang diadakan tiap bulan. Sedangkan bocor halus adalah perilaku beranggaran yang merupakan bukan kebiasaan namun memakan secara signifikan kesehatan finansial seseorang. Dalam hal ini, Arif memiliki bocor halus berupa penggunaan produk-produk kesehatan yang mahal sedangkan bocor halus Mulya ketika ia pergi ke warnet. Meski keduanya itu bukan kebiasaan, namun sangat mempengaruhi kondisi keuangan kedua pemuda itu. Defisit pun menjadi hal yang lumrah bagi mereka. Tapi sayangnya, selalu ada saja alasan untuk memalingkan wajah dari setiap tawaran kerja. Saat ini Arif sedang berada di puncak kesibukannya akibat jabatan sekretaris regional sebuah forum komunikasi ekonomi mahasiswa di kampus. Sedangkan Mulya, sang pengacara__pengangguran banyak acara itu mengikuti berbagai kursus dan training sehingga tidak mungkin baginya untuk mengambil pekerjaan bahkan part time sekalipun. Alhasil, wajah lesu mereka semakin menjadi-jadi.
"Nyerah deh Mulya. Mendingan kita pulang aja"
Semangat masa muda mereka yang luntur perlahan pun akhirnya tumbang. Pencarian yang berlangsung selama kurang lebih 45 menit itu mereka sudahi dengan tangan hampa sebagai hasilnya. Kemudian kedua pemuda itu berbalik arah dan mengikuti jalan yang mereka lalui sebelumnya untuk keluar dari komplek gang Babarsari menuju jalan utama, setelah itu menyeberangi rel kereta api lalu mengambil arah kiri menuju komplek prumahan Arum Sastra dimana asrama mereka berdua berada. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Dengan kekhawatiran yang sama, mereka berdua pun mempercepat langkah agar sampai di kamar dan bersegera membaringkan tubuhnya karena kelelahan.
"Mulya, tugasmu udah kelar?"
"Udah. Tadi baru aja finishing, dan sukses buat gue laper" jawabnya. "Makanya, habis itu gue guling-guling di lantai, terus pindah ke kasur sampai askhirnya sesosok makhluk membanting pintu kamar dan mengajak beli makan karena diduga mempunyai keluhan lapar sebagaimana gue" tambahnya dengan satu napas.
"Halah. Bahasamu"
"Beneran deh, Rif. Sebenarnya yang paling penting dari segala sesuatu adalah proses, hasil mah gak usah dipikirin. Lagian banyak kata-kata bijak yang mengatakan kalau kesuksesan itu sebuah proses bukan tujuan atau hasil. Inget pelajaran matematika sewaktu SMP gak? Guru kita selalu bilang kalau yang terpenting dari ujian ini adalah proses menghitungnya kan, bukan hasilnya?"
"O iya. Ha ha!" Arif tampak berseri-seri mendengar pernyataan temannya itu. " Tapi kita gak mungkin kenyang dengan cuma makan proses kali" raut wajahnya mendadak berubah menjadi Arif versi tanpa ekspresi.
"Ya kita tinggal ke minimarket aja. Kan disana buka 24 jam. Tinggal beli mi instan, seduh, kenyang deh"
"Tau gak? Mi instan itu bikin kita bodoh. Jangan sampai memori kita yang pas-pasan ini ditumpulkan oleh makanan berbahan kimia. Apa kata Menteri Kesehatan nanti?"
"O...pinter juga rupanya kau"
"Iya lah. EH! Tunggu bentar. Kamu tadi bilang minimarket?! Kenapa kita gak kesana aja dan kenapa baru kepikiransetelah kita kita sudah menginjakkan kaki di halaman asrama ini ??!! Hahhh..."
"Gini aja, lebih baik kita ke minimarketnya besok"
"!!!"
Begitulah akhir perjalanan dua pemuda yang tak kenal putus asa dalam mencari makanan dikala malam semakin larut hingga akhirnya tak mendapatkan hasil apa-apa kecuali rasa lelah bercampur kesal.
@Petualangan Mencari Makan--Mulya Saadi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI