Selain maraknya penggunaan media sosial, perkembangan teknologi dan internet juga memengaruhi berkembangnya “startup” yang terlibat di dalamnya. Yah, “startup”, sebuah istilah yang beberapa tahun belakangan terbilang populer. Padahal jika menilik pengertiannya, “startup” bukanlah sesuatu yang baru. Itu hanyalah sebutan keren yang mengacu pada perusahaan yang baru berdiri atau perusahaan yang belum lama beroperasi.
Istilah sederhananya “perusahaan rintisan”. Tapi Anda dan saya lebih suka menyebutnya dengan “startup”. Selain lebih kekinian, penyebutan tersebut lebih keren dan lebih mengacu pada perusahaan modern.
Maka, tidak heran ketika teman saya mengutarakan idenya untuk membuat sebuah bisnis, dia mengirim sms dengan kalimat “kita bikin startup di bidang makanan, yu”. Lain cerita, teman yang lain bilang ketika saya tanya kesibukan. Ia lebih senang menyebut dirinya sedang mengembangkan startup di bidang kesehatan dibanding berkata kalau ia sedang mengembangkan perusahaan sendiri di bidang kesehatan dengan modal kecil.
Mereka sah-sah saja mengatakan hal itu, toh saya juga sering menjawab kalau saya bekerja di perusahaan startup ketika ada orang yang bertanya tentang kesibukan saya. Saya hanya mengilustrasikan kalau penyebutan “startup” tampak lebih keren dibanding kita menyebut perusahaan yang baru didirikan atau perusahaan yang baru berkembang.
Kepopuleran istilah “startup” ini juga dipicu dengan tumbuhnya perusahaan-perusahaan baru di Indonesia, terutama di dunia teknologi atau digital. Bukan fenomena yang spesial sebenarnya karena akhir 90-an, fenomena pertumbuhan startup ini sudah terjadi dengan munculnya fenomena “bubble dot com” di Amerika, sebuah fenomena yang mengacu pada banyaknya perusahaan yang memiliki domain .com
Di Indonesia, fenomena banyaknya perusahaan memakai .com juga terjadi meskipun gaungnya tidak sebesar di Amerika. Baru pada beberapa tahun kebelakang ini, fenomena pertumbuhan startup meningkat di Indonesia. Startup-startup tersebut ada yang sedang masih terus tumbuh, ada yang terjungkal, ada juga yang naik tingkat statusnya menjadi unicorn. Meski ada yang terjungkal, tetap saja ada banyak startup lain terus hadir tiap tahunnya.
Hal ini dibuktikan dengan laporan dari Telkomtestra yang saya kutip dari situs Pcplus.co.id (12/12/2016), bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah startup tertinggi di ASEAN. Pada tahun 2016 ini, Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki startup dengan jumlah mencapai dua ribu startup. Jumlah tersebut tentu saja akan terus betambah (meski pasti ada yang terjungkal) kedepannya. Kehadiran program “Gerakan 1000 Startup Digital” dari Badan Ekonomi Kreatif bisa jadi faktor penting terus tumbuhnya startup di Indonesia.
Pertumbuhan startup digital di Indonesia yang cepat tumbuh ini tentu menarik untuk dicermati. Kalau saya amati, ada beberapa faktor yang menyebakan startup tumbuh di Indonesia begitu cepat. Faktor-faktor tersebut diantaranya sebagai berikut.
1. Maraknya Investasi di Ranah Startup
Dunia startup di Indonesia sempat “goncang” pada 2014 dengan kabar tentang sebuah situs marketplace yang mendapatkan pendanaan sebesar USD 100 juta. Pendanaan terhadap sebuah startup sudah terjadi sebelumnya tetapi ini merupakan pendanaan terbesar yang pernah terjadi saat itu. Setelah itu, banyak startup yang kemudian mendapatkan pendanaan yang biasanya didapatkan dari sebuah venture capital. Fenomena ini kemudian membuat banyak orang ingin membuat startup dan mendapatkan pendanaan besar dari venture capital.
2. Sebagai Solusi Untuk Sebuah Permasalahan
Tidak sedikit startup didirkan dengan tujuan untuk menemukan solusi atau membantu mengatasi berbagai persoalan. Contoh paling terkenal adalah layanan ojek online GO-Jek. Kiprahnya sebagai sebuah startup yang membantu orang untuk mencari transportasi dengan mudah membuat banyak orang memerhatikan startup ini. Yap, permasalahan transportasi di kota besar menjadi peluang yang kemudian diambil oleh layanan ojek online.
3. Penetrasi Penggunaan Smartphone
Tidak bisa dipungkiri kehadiran startup digital yang marak dipengaruhi oleh kemudahan akses internet lewat perangkat bernama ponsel pintar. Berdasarkan datar yang diungkap oleh We Are Social pada Januari 2015. yang dimuat pada laman Techin Asia Indonesia, tercatat ada sekitar 72,7 juta pengguna aktif internet dan 308,2 juta pengguna handphone. Tentu saja saat ini angka tersebut sudah bertambah besar saat ini.
Dengan jumlah pengguna yang besar tersebut, tentunya menjadi pangsa menarik yang diincar oleh berbagai perusahaan baru. Karena itu tidak heran, startup umum memiliki situs web yang mobile friendly atau aplikasi khusus mobile. Tujuannya agar pengguna bisa lebih mudah mengakses layanan startup tersebut.
4. Ikut-ikutan
Banyak juga startup yang didirikan hanya sekadar ikut-ikutan. Tidak sedikit kan startup yang meniru model bisnis mirip Go-Jek. Ada yang tetap bersaing dengan Go-Jek, dan ada yang gagal. Begitu juga dengan startup lain. Meski biasanya sering berasalan didirikan startup karena melihat potensi pasar di Indonesia, namun umumnya karena sekadar atau ikut-ikutan semata.
Sebenarnya masih banyak faktor lain, tapi pandangan saya sih berkutat di 4 faktor tersebut. Faktor nomor 2 perlu jadi perhatian. Karena sebenarnya startup didirikan memang seharusnya bertujuan sebagai solusi untuk masalah bangsa. Seperti yang juga diungkapkan oleh Sanny Gaddafi, praktisi digital startup dalam sebuah diskusi bertajuk “Membangun Negeri dengan Kreasi Digital”, 19 November di sebuah cafe di Bandung. Beliau bilang jika membangun startup harus memenuhi kebutuhan yang ada di negara tersebut.
Saya jelas sepakat dengan beliau. Sebuah startup seharusnya memang tidak sekadar mencari investasi dan keuntungan semata tetapi harus menjadi solusi dari masalah yang banyak dihadapi orang. Starup juga jangan hanya sekadar ikut-ikutan. Sebuah startup yang didirkan dengan tidak memikirkan konsep yang matang, pada akhirnya tinggal menunggu waktu untuk jatuh.
Kejatuhan startup ini biasanya ditandai dengan habisnya biaya operasi, pasar yang sudah tidak menarik lagi, atau layanan yang memang sudah ditinggalkan. Dan hal ini menjadi hal lumrah terjadi di ranah startup Indonesia. Sudah banyak startup yang jatuh di tengah jalan. Kejatuhan startup ini perlu jadi pelajaran bagi orang yang ingin mendirikan startup. Mereka harus jeli melihat peluang baru. Jika tidak, startup yang baru haruslah fokus untuk kolaborasi bukan kompetisi. Sesuatu yang juga diungkapkan oleh Sanny Gaddafi di kesempatan yang sama.
Saya orang yang yakin bahwa meskipun pertumbuhan startup digital di Indonesia diramaikan dengan kejatuhan beberapa startup, tetapi pertumbuhan startup digital tetap akan terus tumbuh. Banyak startup baru yang menawarkan hal-hal baru sehingga saya duga akan cukup lama bertahan. Salah satunya adalah startup pada layanan fintech atau financial technology. Startup jenis ini berkutat pada soal keuangan, yang berarti startup ini bermain di ranah peminjaman, asuransi, gadai, bahkan sumbangan sosial.
Ada cukup banyak pemain di ranah fintech. Mulai dari pemain baru sampai perusahaan besar yang kemudian berkolaborasi. Salah satu pemain di ranah fintech yang menarik perhatian saya adalah JAGADIRI. JAGADIRI adalah sebuah asuransi online yang hadir untuk mengatasi permasalah asuransi pada umumnya seperti dikejar agen, ribetnya prosedur pengiriman, dan sulitnya di klaim. Asuransi ini juga hadir sebagia layanan edukasi kepada masyarakat luas tentang betapa pentingnya asuransi.
Saya mengenal asuransi JAGADIRI ini pertamakali pada diskusi bertajuk “Membangun Negeri dengan Kreasi Digital”. Saya tidak akan membicarakan banyak terkait asuransi ini. Yang saya perhatikan, asuransi JAGADIRI ini merupakan layanan yang tampaknya akan berkembang dan bersaing di layanan fintech. Pertumbuhannya juga cukup bagus dan berpeluang bicara banyak dalam pertumbuhan startup digital di Indonesia, mengingat saat ini startup yang fokus pada asuransi persaingan belum terlalu ketat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H