"Jam berapa besok pengambilan raportmu, Sayang?" Tanya Mama kepada Nania, putri semata wayangnya saat mereka makan malam di rumahnya pukul 8. "Mama mungkin bisa izin besok di kantor di jam pengambilan raportmu. Biar Mama ke sekolahmu tidak terlambat," Nania hanya terus mengunyah makanannya tanpa jeda. Mamanya dicuekin begitu saja. " Nania sayang, kamu kok diem aja?" Tanya Mama. "Jawab dong,"
 Nania meneguk air putih dua kali lalu menarik nafas sejenak sebelum mengeluarkan beberapa kata. Bocah kelas 4 SD itu agak ragu sebenarnya hendak mengatakan apapun yang ia pendam di benaknya selama ini. Hanya saja dia harus berani jujur saat ini agar semuanya beres. Dia berfikir ini saat yang tepat untuk mengatakan hal itu meski pahit kedengarannya. Tapi ia tak cukup berani untuk berkata terus terang.
 "Lebih baik Papa aja yang ngambil raport Nania, Ma." Nania menatap sang Mama sambil melepas senyum kecut pada Mamanya. Sang Mama menghentikan apapun yang dilakukan. Sendok garpunya ia geletakkan lalu memandang Nania dengan mata yang makin dilebar-lebarkan. "Mama besok nggak usah repot-repot izin. Biar Papa aja." Sang Mama terpaku.
 "Loh, kenapa Nania?"
 "Nggak apa-apa, Ma. Papa aja,"
 "Mama besok nggak sibuk kok di kantor. Mama bisa besok, sayang."
 "Tapi nggak usah, Ma. Sudah... Papa aja."
 "Tapi jelasin, kenapa, sayang. Papa jelas sibuk. Mana mungkin dia bisa ke sekolahmu. Kamu nurut Mama dong. Dari dulu kan memang Mama yang ngambil raportmu. Jangan aneh-aneh kamu."
 "Aku maunya Papa, Ma. TITIK."
 Nania berdiri dan meninggalkan meja makan, berlari ke kamaranya di lantai 2. Ia hantam dan menghempaskan pintu kamarnya yang tak berdosa itu dengan kekuatan lumayan keras.Â
 Sang Mama meneguk air lalu memanggil asisten rumah tangganya untuk membereskan seisi meja makan. "Bi Mei tolong beresin ini ya," pintanya sambil telunjuknya menunjuk meja makan. Si bibi mengangguk patuh.