Mohon tunggu...
mulyanto
mulyanto Mohon Tunggu... Administrasi - belajar sepanjang hayat

Saya anak petani dan saya bangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Mana Nuraninya?

14 Mei 2016   14:31 Diperbarui: 14 Mei 2016   14:35 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar terkait pemerkosaan massal atau kekerasan seksual terhadap anak (pedofil) benar-benar menyayat nurani masyarakat Indonesia. Ini benar-benar peristiwa tak berperi kemanusiaan. Di mana nurani pelaku? Biadab. Peristiwa yang jauh dari kemuliaan itu harus dihapus dari muka bumi ini. Korban harus dipulihkan hati dan raganya, sementara pelaku harus mendapatkan hukuman setimpal.

Muhammad Sholihin, fungsionaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur berpendapat, hukuman mati dapat menjadi solusi bagi yang tak bernurani. Masih pantaskah kita memberi belas pada yang tak welas? Karena pelaku ini sudah benar-benar melebihi perilaku binatang. Dan bahkan lebih hina. Di mana nuraninya? di mana perasaannya? setelah melampiaskan nafsu bejatnya lalu membunuh, di mana rasa kemanusiaannya?

Perbuatan yang terlampau jauh menyimpang memang acap meletupkan amarah. Misalnya, kasus YY (14), siswi SMP di Lebong Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh 14 orang, dan 7 diantaranya masih pelajar. Juga beberapa kasus serupa yang lagi tren merupakan bukti autentik Krisis moral di negeri ini. Apakah dia (para pelaku) tidak memikirkan bagaimana jika terjadi pada ibunya, adik perempuannya, istrinya, atau orang-orang terdekatnya? Sungguh perbuatan yang benar-benar hina.

Memang, keran kejahatan pedofil dan kemungkaran lain cukup terbuka lebar di Indonesia. Pelaku kejahatan ini seolah kebal hokum. Pokoknya nafsu bejat tersalurkan, selesai. Karena memang hukum di Indonesia yang tidak tegas. Sehingga tidak ada rasa takut bagi warga negara untuk melakukan kejahatan. Kalau hukum tidak tegas, rakyat makin liar. Orang akan membuat hukum diri-sendiri. Karena mereka adalah polisi untuk dirinya sendiri. Sudah tidak peduli Pemerintah/hukum

Itu senada dengan hasil penelitian Marien dan Hooghen (2011) yang mengungkap, masyarakat yang tidak percaya pemerintah cenderung melanggar hukum ketimbang yang percaya. Sehingga sifat liar tidak dapat dibendung. Solusinya, pemerintah harus memulihkan kepercayaan rakyat dengan cara menegakkan dan memberingaskan hukum seberingas-beringasnya. Kalau masih longgar seperti ini, kasus pemerkosaan massal akan terus terjadi memaraton di bumi pertiwi kita tercinta.

Jangan Jemu Menata Hati Anak

Membentengi anak dari perilaku tak terpuji itu ada tiga. Pertama orangtualah yang harus istiqomah mendidik anak sejak kecil. Di mulai dari rumah, orangtua jangan jemu menata hati anak untuk bermoral dan berprestasi gemilang di masa mendatang. Kemudian, Islam harus hadir mengisi sanubari keluarga, ajarkan anak baik-buruk, halal-haram, ajari tata krama, sopan santun, ajari yang pantas dan yang tidak, proteksi kegemarannya pada game, HP atau gadget, dan lakukan dengan penuh kasih cinta.

Ayah ibu harus hadir untuk meluruskan ketidakbenaran ini dengan serius. Orangtua perlu memulai dengan pendidikan keluarga yang berkeadaban. Karena itu orangtua wajib menjadi panutan bagi anak. Anak lebih suka dicontohi (teladani) daripada diberi (ceramah) tentang teladan. Orangtua yang alpa dalam pendidikan keluarga, mulailah hadir memberi sentuhan kasih cinta pada anak. Ingat ayah.. ingat ibu.. ingat orangtua, anda adalah panutan yang selalu difotokopi anak. Anda akan membentuk surga jika anda mendidik diri anda menjadi suritauladan paripurna untuk anak. Sebaliknya jika anda salah mendidik maka neraka yang anda cipta. Meminjam bahasanya Robert Fulghum, Jangan menghkawatirkan bahwa anak-anak tidak mendengar anda (orangtua), khawatirlah bahwa mereka selalu mengamati anda.

Kedua adalah sekolah harus memberi sentuhan pendidikan agama secara mendalam. Yaitu yang menyentuk nurani dan akal, bukan yang kering makna dan keteladanan. Guru harus menjadi alternatif solusi dalam setiap persoalan perilaku dan pola pikir anak terhadap wawasan moral akhlak dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga adalah lingkungan islammi yang dapat mendukung tumbuh kembang anak. Orangtua dan anak harus dapat membentengi diri dari lingkungan yang tercemar oleh kemungkaran. Semoga berguna.

Mulyanto

Surabaya, 13 Mei 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun