5. Suka Berbohong dan Menyembunyikan Sesuatu
Manusia memiliki kecenderungan untuk tidak sepenuhnya jujur, terutama ketika mereka merasa bahwa kejujuran tidak menguntungkan mereka. Dalam politik dan kepemimpinan, Machiavelli menyarankan pemimpin untuk memahami dan, bila perlu, menggunakan kebohongan demi menjaga kekuasaan atau mencapai tujuan.
6. Tidak Stabil (Mencla-Mencle)
Ketidakkonsistenan adalah sifat lain yang dikritik Machiavelli. Menurutnya, manusia sering berubah-ubah tergantung pada situasi, tekanan, atau emosi. Oleh karena itu, seorang pemimpin yang bijak harus mampu beradaptasi dan memanfaatkan perubahan ini untuk keuntungannya sendiri.
Machiavelli bukan berarti mendukung sifat-sifat negatif ini, tetapi ia menekankan bahwa pemimpin harus realistis dalam memahami sifat dasar manusia. Dengan memahami kelemahan ini, seorang pemimpin dapat merancang strategi untuk memanfaatkan atau mengelola sifat-sifat tersebut demi menjaga stabilitas dan kekuasaan. Prinsip ini sering dianggap pragmatis namun kontroversial, karena cenderung mengabaikan nilai-nilai moral tradisional demi mencapai tujuan politik atau kepemimpinan.Â
Machiavelli, melalui karya-karyanya seperti The Prince, menawarkan pendekatan kepemimpinan yang jauh dari idealisme moral. Pemikirannya berakar pada pandangan bahwa politik bukanlah arena untuk menjalankan kebaikan universal, tetapi medan nyata yang penuh intrik, kekuasaan, dan konflik kepentingan. Beberapa prinsip dasarnya adalah pragmatisme, realisme, individualisme, dan ambisi, yang menjadi landasan dalam memahami cara seorang pemimpin memegang kendali.Â
1. Pragmatis: Fokus pada Hasil dan Tujuan
Machiavelli percaya bahwa tindakan seorang pemimpin tidak dinilai dari moralitas, tetapi dari hasilnya. Bagi dia, kebenaran tidak diukur dari apa yang benar secara teori, melainkan dari konsekuensi praktis yang dihasilkan. Jika sebuah tindakan mampu menjaga stabilitas kekuasaan, melindungi negara, atau mencapai tujuan yang diinginkan, maka tindakan tersebut dianggap benar. Filosofi ini mendorong pemimpin untuk meninggalkan norma-norma idealistik demi mencapai hasil konkret.
Contohnya, jika suatu kebijakan yang keras diperlukan untuk menghindari pemberontakan, maka kebijakan itu lebih baik diambil, meski mengorbankan kepercayaan rakyat untuk sementara. Intinya, "akhir" selalu membenarkan "cara".
2. Realis: Menangkap Realitas, Bukan Angan-Angan