Mohon tunggu...
Mulyana
Mulyana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena di Balik Meningkatnya Semangat Ke-Islaman Kaum Muda

26 Desember 2018   22:55 Diperbarui: 30 Desember 2018   01:08 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lama ini saya baru saja bertemu dengan seorang teman lama. Cukup lama kami tidak pernah bertemu, karena menjalani kehidupan masing-masing kami harus terpisahkan. Hingga pada saat kami bertemu banyak yang sudah berubah, raut wajah yang mulai mengerut, jumlah keluarga yang semakin bertambah,  hingga perubahan dalam sikap dan pemikiran.

Teman saya yang satu ini saat ini terlihat lebih religius. Selalu melaksanakan shalat tepat waktu dan selalu menyengajakan melaksanakan shalatnya di mesjid. Ketika berbicara pun selalu dipenuhi dengan kata-kata yang religius. Sikap yang jauh berbeda bila dibandingkan beberapa tahun yang lalu.

Mungkin teman saya ini bukanlah satu-satunya yang mengalami peubahan seperti itu. Saat ini sedang marak fenomena orang "berhijrah", mereka lebih religius, serta lebih taat dari sebelumnya. Tak jarang pula ditandai dengan dikenakannya pakaian-pakaian dan atribut yang mengambarkan kereligiusan mereka. Yang laki-lakinya tampil dengan baju gamisnya, dan yang perempuannya juga tampil dengan hijab syar'inya. 

Hal ini bukan hanya terjadi pada orang biasa, di kalangan artis pun terjadi hal yang sama. Banyak para artis yang tadinya glamour dan tampil urakan, sekarang terlihat shaleh dan tentu dengan pakaian dan atribut syar'inya. 

Fenomena itu juga diikuti dengan bermunculannya para penceramah muda yang mampu menarik simpati kaum muda. Di mana pun para penceramah itu tampil selalu didatangi beribu-ribu kaum muda yang ingin mendengarkan ceramah mereka. 

Di media sosial, banyak akun-akun para penceramah tersebut selalu diikuti ribuan pengikut, tiap kali mereka mem-posting tulisan mereka, saat itu juga ribuan like dan komentar membanjiri. 

Ada juga yang membentuk komunitas-komunitas tertentu. Entah itu komunitas dalam atribut (kewajiban untuk berhijab misalnya), ataupun komunitas dalam berperilaku (menjauhi pacaran misalnya). 

Apakah ini suatu pertanda bahwa orang-orang terutama kaum muda milenial saat ini sedang mengalami kesadaran beragama lebih tinggi. Atau ada fenomena lain di balik itu. Mungkin jawabannya tidak mudah.

Ada banyak kritikan dari berbagai kalangan yang melihat konten-konten ceramah yang disampaikan para da'i yang marak saat ini cenderung terlalu tekstual. Juga ditambah dengan kualitas keilmuan para da'i tersebut yang sering masih dipertanyakan. 

Ada orang yang baru saja beberapa tahun jadi mu'alaf tiba-tiba saja menjadi da'i yang digandrungi banyak orang. Ada juga orang yang berlatarbelakang suram dan bertobat tiba-tiba juga menjadi da'i. Ada juga seorang artis yang kehidupan dahulunya jauh dari kehidupan religius tiba-tiba juga jadi da'i. 

Persisnya mereka-mereka para da'i yang banyak digandrungi banyak orang itu, tidak memiliki latar belakang tradisi keilmuan yang memadai. Atau kasarnya mereka tidak pernah belajar agama di pesantren. Bagi beberapa kalangan, latar belakang kepesantrenan bagi seorang da'i adalah menjadi dasar penilaian dari baik atau tidaknya kualitas keilmuan seorang da'i.

Namun di samping fenomena yang hanya berkaitan dengan perilaku dan komunitas tersebut, muncul pula fenomena lain. Fenomena yang ditandai dengan semakin kuatnya sikap primordialisme, sikap yang lebih menonjolkan identitas kelompok.

Lontaran-lontaran tentang berbagai isyu kerap kali kita dengar terutama di media sosial. Yang tak jarang pula diiringi dengan ujaran kebencian. Ada yang mempermasalahkan ucapan selamat natal misalnya, pengharaman perayaan tahun baru, demo-demo tentang konflik semacam Uighur, hingga kata-kata kasar berbau SARA kepada tokoh-tokoh pemimpin termasuk pada presiden.

Ada juga sikap yang seolah-olah pro terhadap kelompok teroris seperti ISIS. Atau ramai-ramai menghujat Bashar Assad sebagai pembantai jutaan muslim di Suriah, padahal itu masalah dalam negeri mereka sendiri sementara mereka, para penghujat,  belum tentu tahu persis bagaimana kejadian sebenarnya.

Pun saat ada peristiwa terorisme di negeri ini, ada beberapa kalangan yang seolah-olah bungkam tidak ikut mengecam.

Bahkan ada semacam tuduhan bahwa mereka yang mengecam para teroris adalah juga sedang menyudutkan Islam.

Tiap-tiap pemeluk agama memang harus yakin dengan kebenaran agamanya. Menyerahkan segala hidupnya untuk pengabdian sesuai dengan keyakinannya. Itu sih wajar-wajar saja. Akan tetapi lain halnya jika sudah ada sikap menganggap mereka paling benar dan yang lain salah. Tentu sikap ini bertentangan dengan prinsip-prinsip keberagaman dan toleransi yang selama ini kita junjung.

Agama seharusnya menjadi fondasi bagi kuatnya ikatan kekitaan bangsa dan negara, kontributor terbesar bagi terbangunnya masyarakat sipil yang demokratis dan egaliter. Namun kenyataannya saat ini menjadi lain, ada beberapa pihak yang menjadikan agama justtru sebagai penguat sikap arogansi kelompok dan kebebasan untuk menghakimi kelompok lain.

Apakah fenomena tersebut juga ada hubungannya dengan maraknya para da'i yang latar belakang pendidikan agamanya dipertanyakan berbagai pihak. Kalau melihat postingan salah satu dari mereka sih, nyatanya demikian.

Kerap kali da'i tersebut menulis di media sosial yang berisi tentang hujatan kepada kelompok lain dengan nada provokatif, abai tehadap fenomena terorisme, juga sering menghujat pemerintah dengan jargon-jargon agama.

Tapi sebenarnya tuduhan semacam itu kurang tepat juga. Karena ada juga orang yang berlatar belakang pesantren tapi juga sering melontarkan ujaran kebencian dan arogan. Sebaliknya tidak semua yang tidak memiliki latar belakang pesantren berperilaku yang sama, ada juga koq di antara mereka yang ceramahnya aman-aman saja.

Kalau saya melihat, isyu tentang keabsahan seorang da'i itu muncul lebih dilatarbelakangi dua kelompok aliran agama yang sejak dulu berseteru. Sebut saja antara wahabi dan NU. Namun walaupun faktor itu juga ikut memberi andil, saya tidak akan membahasnya dalam konteks itu.

Saya lebih melihat bahwa orang yang sikap beragamanya arogan seperti penggambaran di atas, itu karena mereka kurang literasi, berpikiran sempit dan eksklusif. Jikapun banyak membaca, mereka hanya membaca teks-teks Islam klasik yang menjadi buku wajib dari guru-guru mereka di pesantren. Sementara buku yang lebih umum jarang mereka baca.

Kecuali pada pesantren-pesantren modern yang memang di samping keharusan membaca teks klasik mereka juga mewajibkan para santinya untuk membaca lebih banyak lagi buku umum.

Orang yang pemahaman agamanya tidak diikuti dengan literasi yang cukup lebih mudah terseret pada sikap primordial. Itu berlaku baik yang berlatar belakang pesantren atau pun bukan.Termasuk para da'i yang kurang literasi juga berpotensi mengalami hal yang sama. Sehingga materi ceramahnya pun karakternya tidak akan jauh dari itu.

Ceramah yang bersifat primordial  akan berpengaruh pada ribuan pengikutnya. Dan ini akan membentuk sikap yang lama kelamaan mengkristal pada para pengikutnya

Menjamurnya ujaran-ujaran kebencian di media sosial menjadi bukti akan hal itu. Pun isyu SARA yang berhembus pada saat kampanye pilpres juga menjadi bukti. Dan hal ini semakin mempertajam sekat primordialisme yang selama ini terpupuk.

Menjadi pemeluk suatu agama tidak cukup dengan sikap ketaatan saja. Jika hanya itu yang menjadi acuan, teroris pun meledakkan dirinya dengan bom bunuh dirinya didasari dengan keyakinan dan ketaatan. Para anggota ISIS pun membunuhi orang dengan sadis dengan dasar ketaatan dan keyakinan.

Begitu pun dengan ujaran kebencian di media sosial, demo-demo bela agama, menganggap kelompoknya paling benar, serta menghakimi orang dengan semena-mena adalah juga didasari ketaatan dan keyakinan. 

Kita dihadapkan pada fenomena sikap beragama yang jauh dari kesejukan dan kedamaian. Itu karena adanya pemahaman agama yang minim literasi. Pemahaman agama yang hanya menelan begitu saja ceramah-ceramah para da'i yang juga minim literasi.

"Hijrah" yang sebagian besar kaum muda termasuk para selibritis lakukan seperti yang kita saksikan saat ini hanya melahirkan kesadaran eksklusif. Kita berhijab, bergamis maka kita adalah muslim ta'at. Kita rajin mengikuti ceramah dan seminar ke-Islaman, maka kita adalah muslim ta'at.

Sementara mereka yang tidak berhijab, tidak bergamis, tidak mengikuti seminar ke-Islaman adalah bukan muslim yang ta'at. Kurang lebih itulah pemikiran eksklusif ke-Islaman yang tumbuh di kalangan mereka. 

Mereka membandingkan ke-Islaman mereka dengan orang lain dengan parameter yang sempit. Parameter yang hanya berdasarkan atribut yang mereka pakai dan kultur agamis yang selama ini mereka jalankan. Padahal di luar sana ada banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi yang membutuhkan kontribusi tenaga dan pemikiran

Tentu berbagai masalah itu tidak bisa tertangani hanya dengan sikap ekslusif keagamaan seperti itu.

Bahkan justru pikiran dan sikap seperti itu adalah satu langkah lagi menuju sikap arogansi kelompok dan primordialisme. Sikap inilah yang menjadi penyebab diamnya mereka pada kelompok-kelompok teroris dan aksi brutal semacam ISIS. 

Sikap ini juga yang membuat ujaran kebencian dan provokasi begitu marak di media sosial. Begitu juga dengan hujatan pada kelompok lain sebagai anti Islam, sesat, dan Islamophobia.

Sikap ini jugalah yang membuat daya nalar menjadi tumpul. Gampang termakan fitnah dan hoaks, serta emosi yang mudah meledak seperti kompor minyak tanah yang sumbunya terlalu pendek.

Lebih parah lagi kondisi ini sering digunakan para tokoh politik sebagai amunisi dalam berkampanye. Kejam nian para tokoh politik itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun