Lelaki yang Mencintai Pintu
Ika Mulya
Seto tahu, ada laki-laki asing yang sedari tadi terus menerus menatapnya. Namun, dia tidak peduli. Baginya, hal itu sudah sangat biasa. Laki-laki berkemeja hitam dan bercelana blue jeans di seberang jalan sana, bukanlah orang pertama yang berbuat begitu.Â
Sudah ratusan pasang mata menatap Seto dengan cara yang sama, terheran-heran. Kemudian, mereka pun berlalu dan menganggapnya gila. Kesimpulan yang lumrah, mengingat tidak ada orang normal memperlakukan pintu rumah sedemikian rupa.
Selama lima tahun terakhir ini, tidak pernah satu hari pun Seto lupa menciumi dan memeluk daun pintu rumahnya. Dengan berdiri di atas dingklik, ia mengecup mesra benda yang terbuat dari kayu jati itu hingga ke sudut-sudut. Dari atas sampai bawah, bagian depan juga belakang.
Puas menciumi pintu, lelaki berusia empat windu itu membelai-belai seluruh permukaannya lalu memeluk erat sambil berucap, "Umayi, aku sayang padamu."
Sebelum ayahnya memesan pintu tersebut, Seto selalu memeluk dan menciumi pohon jati di kebun belakang rumah. Dia mulai dengan memunguti daun-daun rontok yang ada di bawah pohon, menumpuknya di pangkuan, lalu tersenyum seraya mengusap-usap lembut tiap lembar daun kering dengan penuh kasih sayang. Bak seorang ibu yang membelai-belai kepala bayi tercintanya.
"Aku berjanji akan selalu menjagamu, Uma. Lihatlah, aku di sini untukmu." Selalu kalimat itu yang ia ucapkan.
Kemudian, Seto memeluk pohon itu sepanjang pagi atau sore menjelang malam. Kadang dia dekap batang jati sambil berdiri, kerap pula sembari duduk bersimpuh tepat di bawah pohon. Laki-laki gondrong itu melakukannya selama berjam-jam, bahkan di musim hujan. Dia sama sekali tak peduli tubuhnya menggigil hebat. Tak juga menghiraukan kilat yang menyambar-nyambar.Â
Termasuk mengabaikan gemuruh yang menggelegar. Seolah-olah pohon jati dalam dekapannya lebih butuh kehangatan dan perlindungan.Â
Seto baru akan melepaskan pelukan setelah Pak Kliwon menyeretnya ke dalam rumah. Bentakan bapaknya dan tangis pilu sang ibu tidak membuat dia jera. Disebut gila oleh seluruh warga pun, Seto tak ambil pusing.