Mantan kekasihku mengangguk, menyesap kopi, lalu berkata, "Buat apa menyimpan amarah. Nyatanya, aku tak pernah berhasil membencimu, Mas."
"O, ya? Kamu nggak lagi mabok, 'kan?"
"Hahahaha, seandainya dulu Mas terus berusaha mendapatkan maafku, pasti aku luluh juga. Saat itu, aku memang benci padamu, benci sekali. Tapi sekaligus rindu," ucap Daneswari santai, sembari terus menatapku. Tak kutemukan ada bias dusta di matanya.
"Ahh, parah kamu, Nes! Kenapa nggak bilang?" tanyaku tanpa bisa menutupi rasa gemas. Andaikan saja waktu bisa diputar ulang ....
"Hahahaha, aku ini perempuan, Mas. Malu. Umm, gengsi lebih tepatnya."
Hari itu juga, aku seperti remaja yang sedang dimabuk cinta. Mungkin inilah yang disebut puber kedua. Semua kenangan indah bersamanya seketika menyergap, mendesakku untuk mengulangi. Tidak ada penghalang, aku dan Daneswari sama-sama lajang. Perceraian sudah terjadi jauh sebelum acara reuni.
Cinta bersemi kembali, bermekaran memenuhi sudut-sudut jiwa. Tidak ada hari yang kami lewati tanpa puja puji dan perjumpaan di ruang maya. Dan akhir pekan adalah waktunya memangkas kerinduan.
Satu yang berbeda dari kisah cinta di waktu lampau hanyalah usia. Aku dan Daneswari kini sudah sangat matang, sama-sama memiliki sepasang anak yang juga telah dewasa. Karenanya, kami butuh membicarakan perihal rencana pernikahan dengan mereka berempat.
"Kita harus mulai terbuka pada anak-anak perihal hubungan ini, Mas," usul Daneswari dua bulan setelah pertemuan pertama.
"Tentu, Sayang. Aku akan bicara dengan si bungsu lebih dulu. Dia lebih mudah diajak kompromi. Kakaknya sibuk kuliah, sibuk pacaran juga. Hahahaha."
Kami sangat bahagia saat itu. Gerbang pernikahan seakan-akan tinggal selangkah di depan mata. Â Aku juga membayangkan sebuah pesta bernuansa romantis, persis seperti yang pernah kami rancang dulu. Kali ini, jangan sampai gagal. Aku sangat mencintai Daneswari dan bertekad menghabiskan sisa usia bersamanya. Sekaligus menebus kesalahan di masa silam.