Trias tampak kaget. Dia menggaruk-garuk kepala, salah tingkah. "Bu-bukan begitu, Mbak. Ummm, aku sama Mas Dwi yang sengaja minta ke bapak supaya jatah kami buat Mbak Uma aja. Maaf, kalo---"
"Kalo ndak begitu, Mbak Uma ndak mau nerima uluran tangan kami. Mbak terlalu pantang terlihat lemah di mata adik-adik," sambar Dwipa yang tiba-tiba masuk kamar. "Nggak selalu yang tertua itu harus jadi yang terkuat juga, Mbak," jelasnya lagi seraya meraih tanganku. "Terima, ya."
Kurasakan tangan adikku menggenggam lebih erat. Tatapan hangatnya berselimut bening air.
"Gantianlah, Mbak. Dulu Mbak yang melimpahiku banyak kesenangan. Sekarang apa salahnya aku membantu. Ini nggak seberapa dibanding kasih sayang Mbak Uma padaku," tutur Trias dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca, lalu memelukku dari samping.
"Mbak Uma selalu merahasiakan kenakalanku, biar aku ndak dimarahi bapak dan emak. Ingat, kan? Mbak juga yang menjagaku dari tukang palak dekat sekolah," imbuh Dwipa, mengulang kisah lama yang sudah kulupa.
Aku bersimbah air mata. "Terima kasih," ucapku lirih saat merangkul mereka berdua. Kemudian, kupeluk juga Bapak dan Emak yang baru masuk. Tangis pecah, tak kuasa lagi dicegah. Â
Di luar suara takbir menggema. Di sini, di relung hati ini, segenap rasa berpendar. Jiwaku bergetar, seketika merasa jauh lebih tegar. Akan selalu ada kasih sayang yang tulus memancar dari mereka, keluarga tercinta. (TAMAT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H