Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen | Rahasia Amplop Lebaran

2 Mei 2020   13:20 Diperbarui: 2 Mei 2020   13:22 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga tahun terakhir adalah masa-masa tersulit dalam hidupku. Mas Harsa kena PHK, lalu dia hanya kerja serabutan. Tidak ada kepastian penghasilan membuat keuangan keluargaku oleng dan tinggal menunggu karamnya saja. Andai lelaki itu tidak memaksaku berhenti berkarier, tentu tidak akan seperti ini jadinya. Persoalan kemudian menjalar pada keutuhan perkawinan kami, benar-benar nyaris di ujung tanduk.

"Terimalah, buat bayar sekolah cucu-cucuku," bisik Bapak seraya menyodorkan amplop tebal. Ini di luar kebiasaan, karena diberikan di malam takbiran.  

Dengan berurai air mata, aku mengangguk. Seketika menjadi momen paling menusuk. Harga diriku langsung ambruk. Ya Allah, anak perempuan kebanggaan Bapak ini telah jatuh terpuruk. Lenyap segenap kepercayaan diri. Tak ingin dikasihani, tetapi nelangsa ini memang sangat sulit untuk ditutup-tutupi.

Aku menerima. Dalam dada, ratap pilu mencambuk sukma. Walaupun sulit, aku berjanji akan bangkit. Kupeluk Bapak dan berbisik, "Terima kasih, Pak. A-aku, aku ...." Hilang kata dibawa air mata, lesap dalam hangat dekap.

"Husss, ndak usah nangis! Ini, lihat! Ada juga buat Dwipa dan Trias."

Beliau lalu menyerahkan amplop yang sama tebalnya pada adik-adikku. Dengan begitu, Bapak seolah-olah menunjukkan bahwa dia tidak sedang mengasihaniku. Ini adalah tradisi. Titik.

Bapak, oh, bapak.

***

Andai Trias menutup pintu kamarnya, tentu aku tidak bisa melihatnya sedang membuka angpao. Hati ini seketika bergemuruh menyaksikan adikku mengeluarkan lipatan kertas koran dari dalam amplop. Ternyata bukan uang yang membuat amplop itu tebal. Namun aneh, tidak ada ekspresi kecewa di wajahnya. Pasti ada sesuatu!

Aku langsung menyeruak masuk tanpa permisi.

"Kamu dapet lipetan koran, sementara aku dikasih enam juta. Bapak ternyata bohong sama kita! Ada apa ini, Tri?" Tak dapat kutahan rasa kecewa. Mengapa harus ada dusta di antara anggota keluarga. Bukankah selama ini, Bapak dan Emak selalu menomorsatukan keadilan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun