Mohon tunggu...
Ika Mulya
Ika Mulya Mohon Tunggu... Penulis - Melarung Jejak Kisah

Pemintal Aksara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Putaran Memori

12 April 2020   23:12 Diperbarui: 12 April 2020   23:19 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, tidak sedikit pun sikap kasar bapak menggerus keyakinan diri. Tidak pula membuatku beringsut dari hadapannya, meskipun sejengkal. Kita pasti bisa bersatu, dengan atau tanpa restu.

"Saya memang bukan siapa-siapa, Pak. Tapi, saya sangat mencintai Utami. Demi Allah, saya bersumpah akan membahagiakannya."

Apa lagi yang bisa aku janjikan, selain memberimu kebahagiaan atas nama Tuhan. Niat paling suci yang kupersembahkan untukmu. Melebihi harga diriku sendiri, Dik.

Tangismu yang pecah tidak mampu meluluhkan kekerasan hati mereka. Tidak ada setitik pun belas iba. Yang tersisa dua pilihan saja, menerima atau durhaka. Dik, aku sungguh terkesima kau memilih durhaka. Bersedia hidup bersama laki-laki yang motor saja pemberian orang tua.

Walaupun tak sesempurna angan, akhirnya kita bisa mengikat cinta. Dalam hidupku, inilah takdir paling istimewa. Menikahimu, bahagiaku paripurna.

"Akankah Mas Bintang tetap mengingatku, apa pun yang terjadi di antara kita nanti?" Pertanyaan yang sama kau ucapkan lagi sebelum masuk ruang operasi.

"Dik, sedetik pun aku tak pernah membiarkan kau pergi, meninggalkan berjuta kenangan untuk diingat-ingat. Seorang Utami bagiku adalah belahan jiwa, sampai ujung usia 'kan tetap terbawa. Seutuhnya." Itu jawabanku.

Kau tersenyum manis dan bertanya, "Kok, bisa?"

Belum sempat kujawab, suster sudah membawamu masuk.

Sayang sekali, hanya dua belas purnama saja kita hidup bersama. Kau pergi meninggalkan kami selamanya. Senyummu pagi itu di depan ruang operasi, menjadi senyum terakhir. Menyisakan kenangan yang tak mungkin bisa kulupakan. Alih-alih memudar, semua tentangmu justru terus berpendar.

Dik, di hari kepergianmu ada perempuan lain hadir mengisi hidupku. Dia memiliki senyum yang sama manisnya sepertimu. Setiap menangis, gadis cantik itu merangkulku erat-erat dari belakang. Tak ingin wajah sedihnya ditatap, tetapi membiarkan air mata membasahi bahuku. Bukankah itu caramu berbagi kesedihan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun