Mohon tunggu...
Mulyadi Djaya
Mulyadi Djaya Mohon Tunggu... Dosen Univ. Papua -

Memotret Papua bagai oase yang tidak pernah kering. Terus berkarya untuk Indonesia yang berkemajuan (#dosen.unipa.manokwari).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjaga Laut Papua dengan Tradisi Balobe, Bemeti, dan Molo

6 Februari 2018   21:51 Diperbarui: 7 Februari 2018   11:41 4943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Orang Papua yang bermukim di zona pesisir dan pulau, seperti suku-suku di pantai Jayapura, Sarmi, Biak-Numfor, Yapen, Wondama, Sorong, Raja Ampat, dan Kaimana bermata pencaharian utama sebagai nelayan atau sering disebut orang pantai.

Misalnya orang Biak sejak dulu terkenal sebagai pelaut ulung berlayar menggunakan perahu berbekal alat navigasi alami dengan melihat posisi bintang dan arah bumi. Menyusuri pantai utara dan barat Papua, bahkan sampai  kepulauan Maluku. Konon di Tidore ada sebuah kampung yang penduduknya berasal dari Papua. Karena kehebatan di laut, mereka diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pasukan angkatan laut yang dipimpin oleh Gurabesi yang berasal dari Biak.

Selain pandai berlayar orang pantai tersebut juga memiliki pengetahuan lokal menjaga sumber daya perairan mulai dari daratan hingga biota laut yang ada di dalamnya. Bagaimana tradisi atau kebiasaan orang Papua menjaga laut? Diawali dengan kepercayaan mitologi, kemudian beberapa local wisdom yang mereka praktikkan sehari-hari. Raja Ampat yang terkenal indah di dunia adalah contoh bagaimana orang Papua menjaga ekologi lautnya.    

Mitologi di Laut Papua

Orang-orang pantai Papua sangat percaya bahwa laut memiliki kekuatan gaib yang dapat  menjadi sumber kebaikan dan kesejahteraan bagi masyarakat yang tetap menjaga keselarasan dengan "penguasa" laut. Sebaliknya akan mendapat bencana seperti gelombang tinggi, cuaca buruk, orang yang mati tenggelam atau diserang ikan hiu, serta berkurangnya hasil tangkapan ikan bagi nelayan.

Ada kawasan pulau, pantai dan laut yang disakralkan yang dijaga oleh suanggi -- setan laut. Setiap orang yang melewati kawasan itu harus memberi salam dan mempersembahkan saji-sajian. Tidak boleh berbuat jahat seperti membuang sampah, berkata kotor, menangkap penyu, dan dilarang melaut kalau melihat ikan paus.  

Adanya tradisi dalam bentuk mitos dan simbol-simbol dari alam yang diwariskan dari nenek moyang tersebut telah membentuk kebiasaan atau pengalaman masyarakat tentang "hari baik" beraktivitas di laut dengan memprediksi kondisi alam seperti iklim, arus, gelombang, adanya migrasi burung-burung untuk menentukan lokasi kumpulan ikan, jenis ikan, penyu bertelur dan kondisi biota laut lainnya.

Aturan Tiyatiki dan Sasi Nggama

Misalnya masyarakat adat suku Tepra, Teluk Tanah Merah, Depapre, Papua mempraktikkan tradisi  tiyaitiki, suatu pengetahuan tidak tertulis untuk mengatur, mengelola, memanfaatkan serta ikut melestarikan sumber daya laut dan pesisir. Pantai dan laut sebagai sumber kehidupan sehingga harus dijaga hingga bisa dimanfaatkan oleh anak keturunan mereka kelak. 

Bagi orang Papua manusia adalah bagian dari alam yang harus dihormati. Seperti tanah dan laut diibaratkan ibu atau mama yang menyediakan air susu bagi anak-anaknya yaitu warga masyarakat yang tinggal atau mencari kehidupan. Kalau air susu ibu itu habis dikuras apalagi dirusak maka mama akan mati. Saat itulah orang-orang juga banyak yang sengsara atau miskin. Berikutnya tiyatiki sebagai alat konsolidasi warga untuk tetap kompak sebagai satu ikatan keluarga dalam mengarungi kehidupan dunia yang sangat berat.

Hampir mirip dengan adat Sasi Nggama oleh orang pantai suku-suku di Kaimana, yaitu aturan adat yang tak boleh dilanggar oleh siapapun. Tetua adat terlebih dahulu melakukan ritual sebelum turun ke laut dengan memberitahu aturan yang harus dipatuhi: Dalam jangka waktu tertentu dipersilakan warganya mencari potensi laut sebanyak-banyaknya dengan menggunakan alat yang sederhana seperti pancing dan kalawai (tombak kayu bermata logam tajam), dilarang menggunakan bom,  potassium atau jenis racun apapun. Ketika masuk periode larangan, maka tidak dibolehkan  ada aktivitas di laut.

Maksud istirahat melaut adalah memberi kesempatan kepada ikan-ikan untuk berkembang biak. Aturan ini dijalankan dua kali dalam setahun. Bagi yang melanggar akan mendapat sanksi sosial berupa disisihkan oleh adat dan dilarang lagi untuk pergi melaut hingga hukuman tersebut dicabut oleh kepala suku. Untuk mengawasi aturan sasi nggama ini melalui kesepakatan kepala suku dan warga masyarakat setempat telah dibentuk "polisi" penjaga laut yang melakukan patroli.

Tradisi Balobe, Bemeti dan Molo

Tradisi menangkap hasil laut pola susbsisten -- untuk kebutuhan makan sehari-hari dengan menggunakan peralatan yang sederhana oleh masyarakat Papua adalah nilai-nilai budaya dalam bentuk kearifan lokal yang ikut membantu upaya konservasi alam seperti di Taman Laut Nasional Teluk Cenderawasih dan  Raja Ampat yang sangat kaya biota laut. Hanya diperkenankan menggunakan alat sederhana seperti pancing tanpa umpan atau bacigi sehingga tidak merusak sumber daya laut, sekadar bisa hidup sehari-hari yang dikenal dengan tradisi balobe dan bemeti.

Balobe adalah tradisi mencari hasil laut pada malam hari pada saat bulan gelap dengan menggunakan alat tombak dari kayu yang biasa disebut kalawai. Di ujung kalawai terdapat besi bermata tiga yang tajam. 

Hanya menggunakan insting nelayan sudah mengetahui waktu yang tepat dengan melihat kondisi alam. Bulan gelap menunjukkan kuruman ikan tidak akan jauh-jauh berekspansi atau memiliki penglihatan yang terbatas sehingga ikan nampak jinak. Dibantu oleh penerang lampu petromaks pelobe sangat mahir menghujamkan tombak mengenai sasarannya. 

Dari balobe orang-orang Papua membawa pulang hasil tangkapan berupa ikan, udang lobster, teripang, dan gurita. Menangkap ikan dengan  kalawai tidak merusak biota laut karena sasaran tombak sangat selektif. Berbeda kalau menggunakan bahan racun, bom atau alat strum ikan bisa merusak lingkungan dan berbahaya bagi pelobe itu sendiri.

Cara lain untuk menangkap ikan yang dilakukan oleh anak-anak dan orang dewasa adalah molo ikan, yaitu menangkap ikan dengan cara menyelam di kedalaman laut dengan menggunakan kacamata molo dan dilengkapi senapan panah yang dibuat dari kayu. Peluru pelontar dari kawat yang ditajamkan ujungnya. 

Tradisi yang paling lama semenjak belum ditemukan alat tangkap ikan di Papua adalah bameti seperti suku Mariadei Kabupaten Kepulauan Yapen. Bameti adalah kegiatan memungut hasil-hasil laut ketika air laut sedang surut atau bahasa daerahnya air laut sedang meti, berlangsung pada malam maupun siang hari. Terutama daerah pesisir yang landai dan menjorok sehingga ketika surut nampak kolam-kolam kecil dan batu karang.

Berbeda dengan balobe yang biasa dilakukan oleh nelayan, kegiatan bameti biasanya dilakukan oleh tiap-tiap keluarga untuk mengisi waktu-waktu senggang sambil rekreasi, dan dimanfaatkan ajang pertemuan dengan keluarga yang lain dalam satu kampung. 

Menggunakan peralatan seadanya seperti panah dari lidi yang menggunakan karet gelang lalu ditembakkan; alat cungkil kerang, dan baskom/serok penangkap. Mencari ikan karang, udang lobster yang terdampar dan beragam jenis kerang laut, bia/tiram. Biasanya hasil buruan dimakan di pinggir pantai dan sisanya dibawa pulang untuk dimakan sendiri atau dibagikan kepada tetangga.

Tradisi Orang Asmat Menangkap Ikan

Demikian Orang Asmat yang tinggal di muara sungai pasang surut dan rawa-rawa memiliki cara sendiri untuk mempertahankan hidup. Mereka mampu membuat jaring dari anyaman daun sagu. Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai.

Caranya sangat sederhana  dengan melemparkan jaring tersebut ke laut kemudian ditarik secara gotong royong. Karena sifat muara sungai yang banyak mengandung lumpur, sangat menyulitkan ketika jaring ikan ditarik ke pesisir. Untuk mengakalinya, mereka tambatkan jala atau jaring tersebut pada waktu air pasang dan kemudian ditarik kembali ketika air surut. Ini menujukkan bahwa teknik dan pengetahuan lokal telah tumbuh secara alami di masyarakat Papua.

Aturan Adat Menyelamatkan Laut

Membaca budaya masyarakat adat Papua tentang relasi dengan wilayah pesisir di atas telah melahirkan aturan adat tentang pola penangkapan ikan, sistem menjaga dan memelihara sumberdaya laut, serta ikut menjaga kehidupan masyarakat nelayan yang tinggal di wilayah pantai dan pulau.

Walaupun aturan tersebut belum dibuat secara tertulis tetapi  disampaikan secara lisan dalam setiap acara atau ritual adat, seperti melarang melakukan pemboman; peracunan dan pembiusan, penyetruman dengan alat listrik, pengambilan terumbu karang, dan bahan-bahan lain yang dapat merusak lingkungan hidup dan biota lainnya. Demikian juga melarang menebang atau merusak pohon-pohon kayu di pesisir atau  pantai seperti pohon bakau, ketapang, dan sagu, serta melarang menangkap biota laut yang dilindungi seperti  lumba-lumba  dan penyu. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun