Mohon tunggu...
Taufik Mulyadin
Taufik Mulyadin Mohon Tunggu... Guru - Seorang pembelajar sepanjang hayat

Pendidik di Tatar Sunda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dilema Pilkada di Tengah Pandemi

24 September 2020   11:11 Diperbarui: 24 September 2020   11:21 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://medan.tribunnews.com

Golput

Dalam kondisi normal saja tingkat golput masih cukup tinggi. Misal di Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun lalu, tingkat golput mencapai 23,30%. Tak hanya karena pilihan politik dan kendala teknis, alasan kesehatan akan sangat berpotensi memperbesar jumlah golput di Pilkada tahun ini.

Kekhawatiran masyarakat terinfeksi COVID-19 akan membuat mereka enggan datang ke TPS. Walaupun pemerintah telah menyatakan akan melaksanakan protokol kesehatan ketat, banyak masyarakat yang ragu. Hal ini wajar karena sekarang saja pemerintah belum mampu mengatur dan menjamin kesehatan jajarannya. Tidak sedikit pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah yang terpapar COVID-19. Bahkan sudah ada beberapa yang sampai meninggal dunia.

Tingkat golput yang tinggi, bahkan jika mencapai lebih dari 50%, akan mengancam legitimasi hasil Pilkada. Tentu saja hal ini tidak kita harapkan terjadi. Korea Selatan dan Singapura memang berhasil menepis kekhawatiran ini. Akan tetapi, kita juga harus belajar dari pemilu di Perancis dan Iran di tahun ini yang memiliki tingkat golput lebih dari 55%.

Transparansi 

Biasanya, pemilu di Indonesia akan diawasi secara intensif diantaranya oleh pemerintah sendiri, partai politik, masyarakat, dan lembaga independen. Namun, pada Pilkada nanti, kondisinya sangat mungkin berbeda. Atas nama penegakkan protokol kesehatan, ruang gerak untuk para pengawas akan dibatasi.

Sebagai contoh, pada pemilu di Mongolia, pengawas hanya diberikan waktu dua jam berada di TPS. Walaupun pada akhirnya kebijakan itu diprotes dan kemudian diubah. Di Malaysia, pengawas pemilu hanya diizinkan terlibat di hari pencoblosan. Yang banyak juga terjadi adalah, karena harus menerapkan jaga jarak, pengawas kesulitan untuk mengawasi secara dekat proses penghitungan suara.

Bukan mustahil pembatasan ruang gerak pengawas juga terjadi dalam Pilkada serentak di Indonesia. Hal ini berpotensi mengancam transparansi penyelenggaraan Pilkada. Terlebih, dengan dalih protokol kesehatan, ada kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan salah satu kontestan dalam Pilkada.    

Laju penyebaran COVID-19 saat ini ditambah potensi tingkat golput yang tinggi dan transparansi yang rendah seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk meninjau ulang keputusannya untuk menyelenggarakan Pilkada serentak pada Desember 2020. Jangan dipaksanakan demi memenuhi hasrat politik sesaat. Kita khawatir, alih-alih menjamin hak memilih dan dipilih, dengan Pilkada, pemerintah justru mengorbankan hak sehat dan hak hidup rakyatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun