Peristiwa pengesahan pergantian nama salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di wilayah timur Indonesia pada Kamis lalu (24/8) cukup menyedot perhatian publik. Dalam rapat senat terutup saat itu, diambil keputusan secara resmi bahwa Universitas Negeri Gorontalo (UNG) berganti nama menjadi Universitas BJ Habibie. Ini berarti nama UNG hanya berumur tak lebih dari 13 tahun sejak diresmikan pada tahun 2004 oleh Megawati, Presiden RI saat itu.Â
Usulan perubahan nama ini sebetulnya sudah diajukan sejak tahun 2013 oleh para elit kampus. Upaya ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah melalui Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie, sekaligus keponakan dari BJ Habibie. Di tahun 2014, BJ Habibie memberikan restu untuk namanya digunakan sebagai nama pengganti UNG dan kemudian menghibahkan 50 hektar tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengembangan kampus. Walaupun sempat tersendat, upaya penggantian nama ini akhirnya menemui titik terang di awal tahun 2017 dan resmi disepakati di bulan Agustus ini.
Untuk apa nama baru?
Sebetulnya peristiwa penggantian nama PTN dan penyematan nama individu di dalamnya sudah biasa. Kita tentu sudah sangat familiar dengan Universitas Hasanudin dan Universitas Sam Ratulangi. Keduanya berstatus PTN dan menyandang nama individu, dalam hal ini pahlawan dari daerah di mana kampus itu berlokasi. Yang membendakan, di nama barunya, eks-UNG menggunakan nama individu yang masih hidup dan pahlawan modern yang mengabdikan dirinya untuk negeri dengan keilmuan yang dimilikinya yaitu BJ Habibie.
Dari berbagai pernyataan pemangku kebijakan kampus yang dilansir dari beberapa media yang terbit di tahun 2017, paling tidak ada tiga alasan yang melatarbelakangi penggantian nama ini. Pertama, BJ Habibie adalah putera Gorontalo yang gemilang tak hanya di bidang teknologi tapi juga pemerintahan dengan kedudukan yang pernah diembannya sebagai presiden ke-3 RI. Kedua, sosok dan personalitas BJ Habibie sejalan dengan spirit dan bahkan identitas kampus yang bervisi menjadi PT terdepan dan terbaik khususnya di wilayah timur Indonesia. Ketiga, pengakuan dunia terhadap keilmuan dan kecakapan BJ Habibie selaras dengan semangat kampus menjadi PT yang mengglobal paling tidak di kawasan regional ASEAN yang ditargetkan tercapai di tahun 2035. Namun pertanyaannya, apakah ketiga alasan ini benar-benar mengharuskan kampus eks-UNG untuk mengganti namanya dengan sosok tersebut?
Ketiga alasan yang dilontarkan oleh pihak internal kampus di atas sangat normatif dan justru tidak menunjukkan urgensi penggantian nama. Jika nama BJ Habibie harus hadir apakah tidak cukup disematkan misalnya pada gedung yang dibangun di atas tanah yang dihibahkannya. Atau nilai-nilai yang dianut beliau dijadikan rujukan pada visi dan misi kampus. Sebetulnya banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghadirkan sosok BJ Habibie di eks-UNG tanpa harus mengganti nama kampus dengan nama beliau.Â
Justru, pernyataan yang dilontarkan oleh Rusli Habibie, Gubernur Gorontalo, di tahun 2014 sebagaimana yang dilansir oleh Republika (10/4/14) menjadi jawaban yang relevan akan urgensi penggantian nama dari UNG menjadi Universitas BJ Habibie. Sebagai kampus yang lahir di tahun 1963 dari Rahim PT kependidikan, eks-Institut Kependidikan dan Ilmu Pendidikan (IKIP), nama UNG, menurutnya, kurang memiliki nilai jual dibandingkan dengan universitas ternama lainnya, khususnya di Pulau Jawa.
Rusli berharap dengan disematkannya nama BJ Habibie, kampus eks-UNG bisa berdiri sejajar dengan universitas terbaik lainnya seperti ITS 10 November, ITB, dan Unair. Pernytaan Rusli ini mengindikasikan bahwa nama daerah yang tersemat pada nama kampus dianggap menjadi faktor esensial yang menyebabkan kurang maksimalnya pencapaian yang diraih eks-UNG sampai saat ini. Jika hal ini yang dijadikan alasan penggantian nama kampus, memang penting untuk mengganti nama daerah yang dianggap kurang 'kece' dengan nama individu yang lebih dikenal luas seperti BJ Habibie.Â
Penggantian nama, sebuah strategi
Dalam dunia Pendidikan tinggi, penggantian nama kampus bisa menjadi salah satu alternatif strategi bagi sebuah PT untuk mencapai tujuannya. Berdasar literatur ilmiah yang ada, paling tidak ada tiga pandangan yang dapat menjelaskan fenomena penggantian nama kampus yang dilakukan oleh sebuah PT. Pertama, penggantian nama kampus dilakukan untuk membangun citra lebih positif dan terlihat lebih meyakinkan bagi khalayak publik (DiMaggio & Powell, 1983; Lively, 1997; Meyer & Rowan, 1977). Kedua, penggantian nama kampus menjadi strategi untuk menjaga atau mendapatkan akses baru pada sumber daya yang dibutuhkan untuk keberlangsungan PT (Lively, 1997; Pfeffer & Salancik, 1978; Tolbert, 1985). Ketiga, penggantian nama kampus dilakukan sebuah PT sebagai refleksi atas capaian yang telah atau tengah diraihnya (Gumport et al., 1997).Â
Dua pandangan pertama di atas sangat relevan untuk menelaah peristiwa penggantian nama UNG menjad Universitas BJ Habibie. Penggantian nama ini, seperti yang diungkap Rusli, diperlukan agar kampus menjadi lebih dikenal luas dan menjadi daya tarik bagi publik nasional bahkan internasional. Tidak dipungkiri nama bagi sebuah kampus adalah simbol akan identitas, nilai, filosofi, visi, dan atribusi lain yang melekat dengannya. Dengan menyandang nama BJ Habibie, (diharapkan) eks-UNG akan diasosiasikan dengan sosok beliau yang jenius, inovatif, teknokrat, disiplin, bersih, sungguh-sungguh, visioner, dan negarawan besar bangsa ini. Singkatnya, kualitas kampus akan diasosiasikan dengan kualitas individu yang namanya digunakan. Juga pubik akan berpikir bahwa ada keterkaitan khusus antara kampus tersebut dan BJ Habibie. Alhasil, diharapkan akan banyak anak negeri dari berbagai pelosok daerah yang tertarik untuk melanjutkan pendidikan tingginya di sana.
Pandangan kedua dianggap relevan karena penggantian nama eks-UNG diharapkan akan membuka peluang-peluang baru bagi pengembangan kampus. Paling tidak dari kerabat atau orang bahkan institusi yang dekat atau memiliki hubungan dengan sosok BJ Habibie. Sebagai contoh, tak lama setelah usualan penggantian nama menjadi Universitas BJ Habibie digulirkan, kampus menerima hibah tanah dari BJ Habibie dan keluarganya. Tak dapat dipungkiri jejaring BJ Habibie sangatlah luas tak hanya di Indonesia tapi juga di dunia internasional. Ditambah lagi, beliau banyak memiliki dan mengelola berbagai lembaga di banyak bidang termasuk pendidikan. Pastinya besar harapan, penggantian nama ini akan mengakselerasi pengembangan dan pemajuan kampus.
Strategi penggantian nama ini bisa jadi dianggap cara jitu sekaligus instan yang akan membawa eks-UNG menjadi universitas papan atas di Indonesia. Tapi hal ini tak akan menghasilkan banyak perubahan jika tidak diikuti dengan peningkatan di berbagai lini yang lebih esensial, misal governance, kepemimpinan, rekruitmen mahasiswa dan dosen, penelitian, pembelajaran, infrastruktur, kerja sama, pengelolaan sumber daya, akuntabilitas dan transparansi, dan kurikulum. Percuma saja jika penggantian nama hanya terhenti di fase membuat publik tertarik tapi tak dilanjutkan dengan upaya menjawab ekspektasi atau harapan mereka akan sebuah lembaga pendidikan tinggi yang berkualitas.Â
Pastinya penggantian nama UNG menjadi Universitas BJ Habibie akan membawa warna dan nuansa baru bagi civitas akademika di dalamnya. Tapi semoga ini tak sekadar menjadi euforia sesaat dan kemudian terhenti di sini. Harus ada gebrakan-gebrakan lainnya yang lebih fundamental dan nyata setelahnya. Mari kita lihat bersama kedepannya akankah nama BJ Habibie yang disematkan pada eks-UNG ini akan berdampak positif bagi kemajuan kampus atau justru tak berdampak apa pun bahkan mencoreng nama tokoh yang disandangnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H