Bara Hati Yang Menjerit
Ku tepis badai yang mengelora, suasana pagi mengusik jiwaku yang kosong tak berarah dengan sapaan yang tidak pantas bagi pahlawan tanpa tanda jasa. Duhai ananda cobalah kau pandang rawut wajah hamba yang semberaut tak bercahaya dihadapi dengan masalah tidak terkira. Gumam pahlawan tanpa tanda jasa, tersentak menjerit di dalam hati menghadapi siswa-siswanya yang kurang berbudi pekerti. Itulah yang terucap oleh sang pahlawan pagi itu. Dipagi yang cerah, disela-sela hiruk pikuk siswa-siswa bermain riang gembira menyambut jam istirahat yang selalu dinanti-nanti. Saat itu Pahlawan tanpa tanda jasa masih mengajar di kelas V A yang sudah menjadi tangung jawabnya membelajarkan siswa, membentuk budi pekerti atau karakter peserta didiknya menuju berkarakter terpuji sesuai dengan cita-cita kurikulum merdeka.
Membentuk karakter peserta didik merupakan amanah dari penerapan profil pelajar pancasila, hingga penerapan nilai-nilai pancasila dalam keseharian para peserta didik yang merupakan salah satu norma yang ada di sekolah dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila di Kelas V.
Membara sudah hati sang pahlawan tanpa tanda jasa menghadapi siswanya yang sopan dengan perkatan menyayat, mengiris hati yang paling dalam. Jatuh berderai kedalam air mata memendam rasa serta menelan jeritan hati yang melelehkan jiwa.
"Diam-diam"..., dan terpaku
Urut-urut dada pahlawan tanpa tanda jasa, merefleksi diri. Apa kurangnya hamba sebegini sopannya ananda/ siswa hamba. Tidak habis pikir pahlawan tanpa tanda jasa. Sudah mencoba meredam suasana namun suasana semakin tidak terkendalikan. Pada akhiranya pahlawan tanpa tanda jasa hanya terhenyak duduk diam tidak berkata sambil merenung dimeja dan kursi tempat biasanya dia duduk.
"Kenapa bapak diam saja pak!"
 Sela dari seseorang siswa yang tidak begitu terbawa suasana yang tidak karuan itu.Â
Pahlawan tanpa tanda jasa menjawab "maaf nak!".Bukannya bapak tidak mampu membendung susana ini. Coba kamu bayangkan hampir 30 orang yang akan bapak tenangkan yang mulutnya komat-komit membaca yang tidak karuan tanpa menghiraukan apa perkataan dari bapak. Bagaikan perang yang sedang berkecamuk.Â
"Kamu dengarkan....!"
Pahlawan tanpa tanda jasa, menarik napas lebih dalam karena dia tidak mampu melawan penyakit yang dideritanya jikalau tetap saja bila dia menenangkan suasana yang sudah kacau balau itu, yang sebelumnya sudah dicoba memberikan perhatian lebih kepada siswa yang propokator terjadinya permasalahan. Pahlawan yang hingga saat ini mengindap tekanan darah tinggi. Kalau terpancing dengan rasa marah takut kambuh lagi penyakitnya.
Akhirnya pahlawan tanpa tanda jasa mencoba meredam dan mengendalikan dirinya. Meredam amarah yang sudah meledak-ledak mengelegar, siap terlempar keluar. Menginggat embanan tugas serta sumpah pahlawan hanya terdiam sambil mengucap astaufirullah hallazimmmm.... astaufirullah hallazimmmm.... astaufirullah hallazimmmm....Yaallah nyerinya dadaku, sakitnya kepalaku, ya Allah jauhkan aku dari tekanan darah tinggiku. Hanya itu yang terlintas di pikiran pahlawan untuk memeredakan keadaan saat itu.
15 menit sudah berlangsung pertempuran perkataan takkaruan, ibaratkan buli-membuli, satu sama lainnya. Pahlawan mencoba untuk tidak terbawa suasana namun rasa-rasa dan tangung jawab selaku seorang pendidik terasa terabaikan. Merasa berdosa bila tetap dibiarkan namun Pahlawan tanpa tanda jasa mencoba bangkit kembali dari tempat peranduannya berrefleksi diri.
Hallo anak bapak semuanya, coba diam kamu lagi. Pinta sang pahlawan.
Mendengarkan ucapan pahlawan ada beberapa siswa menyahut, Hallo Pak. Namun ada juga sebagian besar siswa masih terbawa suasana perang mulut. Sehingga ucapakan dari sang pahlawan terabaikan. Kemudian sang pahlawan mendekati siswa yang masih menceloteh sementara lawan bicaranya untuk berceloteh tidak karuan masuk kedalam lokal, akhirnya suasana belum juga terkendalikan.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H