Mohon tunggu...
Henry Multatuli
Henry Multatuli Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Saya adalah seorang yang sedang mencari makna yanga ada di dalam bab-bab buku kehidupanku. lembarannya unik dan harus kuakui sedang kuselami sebuah arti di setiap paragrafnya. Walaupun akhirnya kutemukan diriku hanyalah pujangga yang tak bermakna. Aku bukanlah Sartre yang bermain dalam absurditas ataupun Nietzsche sang penggila metafora dan aforisme. Mungkin aku berada dalam tahap estetikanya Kierkegaard...atau mungkin sedang menikmati asyiknya bersuara lantang dalam tahapan eksistensi... sekarang sedang mengambil peruntungan di Damaskus, Suriah. Belajar bahasa Arab.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sebuah 'Teater Makna'

8 Februari 2010   19:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:01 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayangkanlah engkau berada di sebuah podium. Para penonton tidak sabar melihat aksi sang aktor berlagak dengan tata latar yang sudah disesuaikan. dari letupan sambutan meriah, Sang Aktor pun mulai memainkan perannya. Kisah itu adalah drama yang terkadang membawa kita terhuyung ke alam sang Aktor. Ekspresi dan emosi seketika menjadi satu dan tatkala menjadi tragedi, semuanya tumpah ruah dalam balutan linang air mata. Itu adalah sekelumit perumpamaan tentang hidupmu. Dimulainya tatkala engkau terbuncah dari rahim bunda dan mulai mencicipi bau sebuah fana. Disaat itu pula engkau dituntut untuk menangkap pesan-pesan langsung tentang dunia yang baru saja engkau alami. Waktu berjalan sebanding lurus dengan perkembangan jasmanimu serta pengalamanmua tentang dunia. Timbullah sebuah pertanyaan yang terkadang terbersit dari setiap lembar hidupmu, apakah yang engkau dapatkan selama ini? Dari pertanyaan tersebut, sungguhlah dalam jika ditekankan pada dua kata terakhirnya. Seberapa banyak makna yang engkau dapat dan resap selama ini? Apakah dalam 'drama'-mu engkau telah temukan suatu momen yang dinanti-nantikan oleh setiap hadirin yang berdesak-desakan diluar sana? Ataukah anda menyadari bahwa kesemua itu hanyalah perjalanan minus eksistensi. Mereka tidak berharap pada crecendo ataupun tempo permainanmu. Yang mereka harapkan adalah sebertik makna yang begitu dalam baginya. Engkau bukanlah seorang penari kabaret yang cukup menyuguhkan nirwana palsu dari setiap aksinya. Engkau juga bukan seorang jester yang puas dengan lesung pipit para penonton pertanda mereka terhibur. Siklus waktu yang membosankan yang dimulai dengan terbitnya fajar hingga redupnya langit berhiasan bintang hanyalah gerai potret tembok latar teater Elizabethan yang berganti tiap lakon dilangsungkan. Terkadang latar itu bisa menjadi rumahmu di sana, mungkin juga kebun milik saudagarmu atau apapun juga. Engkaulah sang aktornya yang menentukan isi dari 'drama'-mu. Bukan sepak terjang orang-orang yang berlalu-lalang dalam kisahmu layaknya sang penari latar dan bukan juga latar belakangmu yang kaku seperti Latar Elizabethan. Engkaulah sang aktor yang mengalirkan kisahmu dan menjadikannya semuanya menjadi hidup. Tapi engkau harus ingat, keluwesan sang aktor pun dibatasi oleh waktu yang telah disediakan. Sama halnya tatkala hidupmu diakhiri oleh denyut jantungmu yang tiba-tiba berhenti. Memang 'drama'mu belum berakhir. Keberagaman makna yang kau temui dalam perjalananmu itu sama dengan keberagaman kreatifitas sang Aktor dalam menyajikan aksi di panggungnya. Ia mampu mengajak sang Penonton terseret dalam wahana yang penuh emosi nan histeris. Sungguh waktumu terlampau sedikit untuk memanjakan dirimu di sebuah latar itu. Masihkah engkau terpaku dan termangut disana sembari membiarkan latar dan penari yang bergerak? Berikanlah sesuatu pada kami. Ceritakanlah 'kisahmu' dalam sehimpit ruang dan waktu yang terus bergerak. Mungkin kau takkan tahu setiap gerakan tubuhmu adalah sebuah arti yang sangat berarti bagi kami. Engkau tak perlu menjadi Aristophanes yang menceritakan tragedi Socrates, ataupun Shakespeare yang menampilkan tragedi Romeo dan Juliet. Tak usahlah khawatir dengan persiapanmu maupun dandananmu karena engkau bukanlah badut-badut Periang atau sang Idola Fantastis yang bercerita dibalik gemuruh hedonistis namun tanpa arti. Cukuplah kau bertutur dalam bahasa hati. Lihatlah Film-film diam yang bercakap dalam riak-riak emosi yang bergejolak di setiap hati para penonton. Kau adalah 'Manusia' dan rol filmmu sedang berputar. Penutupmu tak perlu menjadi suatu tragedi karena hidup itu sendiri adalah sebuah tragedi. Masihkah engkau berdiam diri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun