Mohon tunggu...
Muliansyah A. Ways
Muliansyah A. Ways Mohon Tunggu... -

Penggiat Demokrasi Indonesia dan Politik Lokal

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jumpa Pilkada 2018, Optimisme Masa Depan Demokrasi Indonesia

30 Juni 2018   15:10 Diperbarui: 30 Juni 2018   15:06 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tinggal satu hari lagi, tanggal 27 Juni 2018 di perhelatkan pemilihan kepala daerah di beberapa provinsi, kota dan kabupaten seluruh Indonesia, penulis memberikan istilah "jumpa lagi di Pilkada 2018", tentu tak hentinya kita sebagai anak negeri selalu menjadi bagian dari pesta ini, pesta yang sangat menjanjikan dan memiliki preferensi politik Indonesia lima tahun kedepan. Proses menuju masa depan demokrasi Indonesia adalah bagian dari peran semua lapisan masyarakat, tak peduli darimana latar belakang dan status anak negeri di negeri ini, tetapi semua anak negeri memiliki hak yang sama untuk menjadi bagian dari pesta bangsa ini.

Skama Pilkada merupakan salah satu momen berharga dalam berbangsa dan bernegara, kenapa demikian?, karena di momen inilah menunjukkan bahwa warga negara Indonesia untuk memenuhi satu partsispasi politik dan memiliki sikap yang tepat dalam pilihan politik.

Pilihan politik memang berbeda, tetapi memilih ialah bagian dari menentukan masa depan Indonesia dari daerah-daerah. Indonesia tak sekedar konsen menentukan pemimpin nasioanal (memilih presiden dan wakil presiden), tetapi selain dari itu, kita harus ikut menentukan kepala-kepala daerah yang terbaik untuk daerah dan bangsa Indonesia.

Kedaulatan bangsa ada di tangan rakyat, masa depan demokrasi Indonesia juga rakyat yang menentukan, bila salah memilih pemimpin daerah, maka salah pula menentukan masa depan rakyat Indonesia selama lima tahun.

Pilkada setengah wilayah di Indonesia, pilkada 60 % penduduk pemilih Indonesia dan pilkada jutaan mata dan kepala di Indonesia, serta rakyat turut hadir di TPS-TPS, guna menjadi bagian dari warga yang baik penuh cinta Indonesia dalam menjadikan momen yang cerdas, momen senasib dan seperjuangan memilih pemimpin-pemimpin masa depan bangsa dari daerah mulai di Aceh sampai di Papua.

Pilkada di 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten di Indonesia penuh dinamika dan culture yang berbeda beda, dilihat dari mulai kampanye terbuka, kampanye tertutup, sosialisasi kandidat, komukasi politik, gesekan, isu-isu politik hingga perdebatan dari kandidat, tim sukses maupun pendukung-pendukungnya. Tentu rakyat Indonesia sudah cerdas melihat langsung mata kepalanya, hanya terkadang kita melakukan gerakan politik yang menyesatkan alias politik "amburadul" artinya politik yang terkadang "bisa di beli dengan sepersen", "semurah"dan tidak berharga dalam membangun politik yang bermartabat.

Meminjam  bahasa para negarawan bahwa politik di Indonesia kini sangat mudah di nodai dengan segala praktek-praktek yang pragmatis dan instan, barangkali kita perlu ketahui juga bahwa rakyat kita perlu di berikan politik yang bermartabat dan berkeadaban artinya harus ada pendidikan politik yang baik, politik yang bermoral, politik yang santun, politik yang tanpa "money politic", politik yang jujur tanpa pencitraan, politik yang berbudaya dan politik yang adil untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sehingga pelajaran politik Pilkada 2018 bisa menjadi preferensi politik nasioanl di pemilu 2019, karena terlihat sekali fokus Pilkada 2018 hampir kehilangan piala dunia 2018 juga, dimana pilkada 2018 kali ini rasanya terlupakan tontonan piala dunia bergengsi di Rusia, sampai-sampai para industri politik juga tak sepih diskusi masalah pilkada, walaupun piala dunia Rusia 2018 juga lebih santer pemberitaanya.

Perspektif Teori dan Dinamika Politik 17 Provinsi

Sedikit kita melihat kontestasi di Pilkada Provinsi Papua, masyarakat Papua dari masyarakat pantai hingga pegunungan juga antusias ikut meramaikan bersama dengan kandidatnya masing-masing, walaupun para tokoh nasional atau para pemimpin partai politik memiliki kandidat presiden berbeda-beda, tetapi mereka bertemu bersama dalam pilkada di daerah-daerah dengan satu kandidat dalam koalisi bersama partai yang berbeda secara nasional. Pilkada di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara menjadi dinamika politik yang menarik, karena para petahana masih ikut meramaikan serta lagi-lagi isu agama hanya menjadi isu electoral bukan isu yang memecah bela kerukunan umat yang sudah terjalin baik.  

Di daerah Provinsi Sulawesi Selatan memunculkan para kandidat yang juga bagian dari tokoh nasional bertarung dengan kandidat yang memiliki prestasi sebagai kepala daerah alias tokoh terbaik daerah. Kemudian di Sulawesi Tenggara dan beberapa Provinsi di Kalimantan (Kalimantan Barat dan Timur) juga tak kalah dalam kontestasinya, lagi-lagi kita melirik di NTB dengan semangat NW dan NTT juga para pemain nasional hadir bertarung di daerah tersebut, kemudian Provinsi Bali dengan khas karakter agama Hindu-Budhanya, Jawa Timur dengan culture NU-nya bahkan Pilkada Jawa Tengah dan Jawa Barat rasanya pemilihan presiden, karena dinamika Pilkada Jakarta kemarin masih memiliki pengaruh di dua daerah ini, sehingga jangan heran kalau partai-partai politik masih berkoalisi dengan kemiripan pilkada di DKI Jakarta.

Empat daerah di pulau Sumatera, dari mulai Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau dan Lampung juga memiliki karakter masing-masing dalam pilkadanya, hanya sedikit berbeda yang di Sumatera Utara, karena kehadiran para petarung yang datang dari Jakarta. Keunikan dinamika politik Indonesia mulai terlihat, lewat panggung politik ini di daerah, penulis menganggap bahwa kajian politik lokal akan menunjukkan warna politik Indonesia yang sesungguhnya. 

Menurut Deliar Noer (1983: 6); "politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat". Tentu ini kajian Noer dalam perspektif politiknya bahwa memang politik adalah sebuah aktivitas yang ingin mengubah, mengatur, mempertahankan bahkan menyusun pola-pola politik dalam struktur politiknya, sehingga kekuasaan dapat berjalan secara maksimal, kondisi ini memang akan berlangsung di 17 provinsi maupun kabupaten atau kotanya. Namun perlu di ketahui bahwa politik adalah aktivitas pelaku politik darimana saja asal-usulnya, baik pada petarung politik, pemikir, peneliti dan pada penggiat-penggiat politik di Indonesia serta rakyat pun di sibukkan dalam dinamika politik yang berlangsung.

Perbincangan demokrasi mengenai politik lokal pasca Orde Baru selalu menarik perhatian, karena di saat orde baru, hal ini masih sentralistik, ini karena politik lokal pada masa itu memberikan dampak yang diametral. Keadaaan ini disebabkan oleh keadaan tarik menarik kepentingan pusat dan daerah, ditambah lagi dengan wujud otonomi daerah dan pemekaran daerah (redistricting) serta persoalan timpang tindih daerah yang belum selesai. Hal ini menunjukkan bahwa kajian politik lokal sangat menjadi kajian yang menarik dalam perhelatan pilkada 2018 di negeri ini.   

Leo dan Mohammad juga melihat dalam perspektifnya bahwa "Politik lokal di Indonesia semakin dinamik setelah proklamasi kemerdekaan, ketika kekuatan masyarakat mulai merembes masuk ke lembaga-lembaga formal. Keadaan ini lebih kurang merupakan legasi positif dari rancangan kolonial Belanda untuk menyediakan kesempatan kepada masyarakat awam terlibat dalam kepolitikan dalam konteks implementasi politik etis. Walhasil, para elit tradisional (bangsawan daerah) harus bersaing dengan masyarakat umum yang juga berusaha keras mendapatkan posisi dalam lembaga-lembaga negara. Selain persaingan antara elit tradisional dan masyarakat awam yang mengemuka pascaproklamasi, masalah etnisitas juga menonjol dalam kerangka nation-building di Indonesia (Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusoff: Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21, 2010).

Leo dan Mohammad bahkan menerjemahkan politik demokrasi lokal sebagai bagian dari munculnya politik indentitas daerah-kesukuan dan mulai berakhirnya hegemoni raja-raja lokal yang di pelihara para kolonial sejak lama. Olehnya itu ada politik rasional dan gerakan rakyat mulai memiliki hak yang sama dalam setiap pesta politik lokal di daerah-daerah, lambat laun politik lokal mulai bergeser dari setiap perhelatan politiknya, dari politik lokal indentitas ke politik lokal rasional, dari politik idealis menjadi politik pragmatis dan dari Politik lokal pembodohan menjadi politik lokal mencerdaskan serta dari politik ide-ide menjadi politik program-program.

Disinlah kita melihat kenyataan politik lokal yang akan merubah suasana, tergantung dari sejauhmana pembelajaran politik yang terjadi di daerah setempat, hadir para kandidat-kandidat potensial bangsa di beberapa daerah menjadi kajian dan pelajaran penting bagi daerah-daerah lain. Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah muncul tokoh-tokoh hebat di negeri ini, bukan lagi citra yang di munculkan, tetapi mereka mulai menawarkan segudang program nyata, ini menunjukkan bahwa politik lokal kita di negeri ini mulai membaik dan subur dalam penciptaannya.

Penulis optimistis bahwa demokrasi di negeri ini lebih membaik dan akan melahirkan para pemimpin daerah mulai dari Bupati-Wakil Bupati, Walikota-Wakil Walikota dan Gubernur-Wakil Gubernur 2018 yang lebih baik. Inilah masa depan demokrasi Indonesia yang pantas kita optimis, jumpa pilkada 2018 berdampak jumpa pileg dan pilpres 2019 yang juga lebih baik. Karena rasa Pilkada kita mencari pemimpin daerah terus melahirkan pemimpin nasional kita yang jauh lebih baik, semoga kita berjumpa dipilkada 2018 ini terus mengajarkan kita menuju pemilu dan pilpres 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun