Tanpa terasa, pada 15 Januari 2019 lalu, bus transjakarta sudah berusia 15 tahun.  Usia remaja yang sedang binal-binalnya. Namun dalam rentang usia belia itu, transjakarta terasa tumbuh sebagai orang dewasa, sebab manfaat kehadirannya semakin besar. Sedangkan pelayanannya  bertambah lengkap, dan jumlah penumpang yang menikmati jasanya bertumbuh secara pesat.
Pertumbuhan secara cepat dalam hal jumlah penumpang yang menikmati jasa transjakarta, memang drastis terjadi 3 tahun terakhir.  Berdasarkan catatan Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), bila pada Januari 2016 jumlah penumpang transjakarta per hari sebanyak 297.000, terjadi lonjakan besar yaitu  663.000 penumpang per hari pada awal Januari 2019. Melonjak 120 persen dalam waktu kurang dari tiga tahun. Â
Tentu saja, pertumbuhan ini karena pembukaan rute baru di luar koridor busway hingga ke daerah penyangga Ibu Kota. Kini terdapat 155 rute di seluruh wilayah DKI Jakarta. Â Bandingkan sebelumnya, yaitu selama empat tahun pertama sejak beroperasi Januari 2004---rute bus transjakarta masih menerapkan sistem tertutup, Â hanya tujuh koridor tahun 2008.
Kali ini, saya  tidak akan membicarakan hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan bus transjakarta maupun jumlah penumpangnya. Ini hanya secuil kisah mengenai pengalaman  saya sebagai penumpang setia transjakarta. Sebagai sebuah pengalaman, tentunya kisah ini subyektif, namun saya sampaikan secara obyektif.Â
Sejak koridor 13 Â yang melayani Cileduk - Tendean - Blok M dibuka pada Agustus 2017, saya memilih transjakarta sebagai moda transportasi utama untuk mencapai pusat kota. Slogannya smart city smart mobility, bagi saya dapat terbukti, dan tidak menguras isi kantong. Â Â
 Kenyamanan yang Mewah   Â
Matahari yang kokoh menyemburkan sinar lembut, terasa hangat menyambar kulit. Berpendar-pendar di kulit yang masih lembab disiram body lotion. Jalan raya diwarnai kesibukan yang  ceria, lalu-lalang mobil maupun motor di Jalan Cileduk Raya membuat perjalanan kian padat, telinga terdengar pekak saat ada yang sembarangan memencet klakson mobil layaknya kemarahan. Padahal kemacetan hal yang lumrah di Jabodetabek ini. Â
Setelah memarkirkan mobil di tempat penitipan tak jauh dari Halte Busway Puri Beta, saya melangkah ringan bersama keceriaan, sengaja memintas dan melompati riang di sebuah pintu tanpa tangga. Saya bergegas, tidak ingin ditinggal oleh bus transjakarta  yang menunggu penumpang naik.
"Wah, kok tidak bisa kartumu, Bu! Mungkin saldonya kurang. Coba Ibu Cek dulu di samping di tenda biru," kata petugas, setelah ia membantu seorang calon penumpang untuk memantik kartu.
Penumpang di belakang si Ibu, seorang pria setengah baya, gelisah ingin buru-buru. Saya juga merasa terganggu dengan trouble  yang dialami oleh  petugas yang telah berusaha membantu. Ingin rasanya melompat dari sisi sebelah gate tempat tab kartu yang  kebetulan kosong, dan tidak ada petugas yang berjaga di pintu sebelah. Apalagi bus yang akan saya tumpangi masih menampung penumpang baru. Jangan sampai terlambat, bisa tidak kebagian tempat duduk.
Kesabaran saya membuahkan hasil, setelah saya berteriak kepada petugas pengatur penumpang agar ditunggu. Masih ada bangku penumpang yang kosong. Saya memilih di bagian deretan bangku paling belakang, bangkunya satu trap di atas bangku lain, dan tentunya lebih nyaman. Hanya beberapa detik kemudian, bus Mercy itu pun melaju menuju halte Puri Beta 1. Di sini penumpang bertambah lagi, namun masih ada 7 bangku yang kosong.