Mohon tunggu...
Muliana Sidiq
Muliana Sidiq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif di Universitas Negeri Surabaya

Hobi saya adalah mendaki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik Dinasti Era Joko Widodo

28 April 2024   10:10 Diperbarui: 28 April 2024   10:10 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Politik dinasti merupakan hal yang lumrah terjadi dalam suatu politik mulai dari keluarga atau kerabat dari pejabat maupun politisi yang berpolitik. Sejak era reformasi sudah terlihat rekam jejak aktivitas politik dinasti presiden.

Survei dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan bahwa sebagian masyarakat paham soal isu dinasti politik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) percaya akan hal tersebut.

Sebagian besar responden survey yang mengetahui isu tersebut percaya terhadap pandangan bahwa Presiden Jokowi tengah membangun dinasti politiknya jelang pemilihan umum atau Pemilu 2024.

Awalnya, responden menjawab pertanyaan apabila mengetahui pendapat bahwa Presiden Jokowi tengah membangun dinasti politik melalui anak dan menantunya.

Hasilnya, sebanyak 37% menjawab tahu, sedangkan 63% menjawab tidak. "Dari yang tahu [37%], 68% menyatakan percaya pandangan bahwa Jokowi sedang membangun politik dinasti. Dari yang tahu itu juga, 75% menyatakan tidak suka Presiden Jokowi membangun politik dinasti," terang Pendiri SMRC Saiful Mujani dalam siaran pers, Jumat (17/11/2023)

Disisi lain Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai wacana mengusung anak dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024 tidak sesuai dengan konstitusi.

Menurut Feri, konstitusi Republik Indonesia tidak dibuat untuk mengakomendasi kepentingan politik kelompok atau keluarga tertentu untuk terus berada di lingkaran kekuasaan.

"Satu hal untuk catatan konstitusi kita ya, bahwa konstitusi kita tidak dirancang untuk keluarga" kata Feri Amsari, dikutip dari program Kompas Petang di Kompas TV, kamis (14/3/2024).

Feri juga mempertanyakan kemampuan berpolitik anggota keluarga Jokowi, jika partai politik pendukung pemerintahan menyatakan siap mendukung anak dan menantu Presiden Jokowi di Pilkada 2024.

Dia mencontohkan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut 2 mendampingi Capres Prabowo Subianto.

"Saya pikir omong kosong kalau kita bicara presentasinya? Bukankah Gibran baru dua tahun, belum ada nilainya itu untuk dianggap sebagai layak punya kapasitas." Ucap Feri.

Menurut Feri, Presiden Jokowi menggunakan momentun masa jabatannya buat membangun dinasti politik bagi anggota keluarganya supaya tetap berada di lingkaran kekuasaan.

Dampak Dinasti Politik

Mengutip mkri.id, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih identik dengan kerajaan. Sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.

Apa yang terjadi jika negara atau daerah menggunakan politik dinasti?

Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrumonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi.

Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.

"Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik presedural. Anak atau keluarga para elit masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural," ujarnya.

Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika praktik ini semakin marak di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah serta penyalahgunaan APBD dan APBN.



Penulis: Muliana Sidiq, Muh Amirul Nazri, Rizky Prisma Ramadhan, Yasser Ramadhan Dungga 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun