Seperti novel-novel karangan Tere Liye lainnya yang menampilkan ending yang tak terduga, Tentang Kamu juga jauh dari perspektif awal saat mulai membacanya. Melihat dari judulnya, kita akan beranggapan Tentang Kamu adalah novel roman yang menitikberatkan ceritanya pada masalah percintaan antara "kamu" dan tokoh utamanya yang melankolis dan penuh keromantisan. Namun, jauh dari kata romansa, Tentang Kamu lebih tergolong kepada novel inspiratif dengan penggambaran cerita detektif.  Novel Tentang Kamu mengisahkan perjalanan hidup tokoh utama, Sri Ningsih, serta masalah-masalah yang dihadapinya. Cerita dimulai dengan latar waktu sekarang dimana Sri Ningsih yang baru saja meninggal dunia di Paris mewariskan harta kekayaan senilai satu miliar poundsterling atau setara dengan 19 triliun rupiah. Naasnya, Sri Ningsih tidak memiliki ahli waris yang diketahui dan juga tidak meninggalkan surat wasiat. Pengacara dari badan hukum yang mengurus masalah harta warisan Sri Ningsih, Thompson & Co. pun mulai mencari dan menelusuri kerabat Sri Ningsih dengan hanya bermodal buku diary Sri Ningsih.
Penelusuran kehidupan Sri Ningsih dimulai dari tempat kelahirannya di Pulau Bungin, lalu di Madrasah Kiai Ma'sum Surakarta, lanjut ke Jakarta, London, hingga Paris. Dalam novel, perjalanan hidup Sri dibagi ke dalam 5 fase sesuai dengan buku diary-nya yang disebut penulis sebagai juz kehidupan. Kelima juz tersebut adalah Tentang Kesabaran, Tentang Persahabatan, Tentang Keteguhan Hati, Tentang Cinta, dan Tentang memeluk Semua Rasa Sakit. Tere Liye menyajikan kisah flashback ketika mengisahkan perjalanan hidup Sri Ningsih. Alur flashback ini disajikan seolah-olah pembaca berada di masa itu sehingga membuat pembaca lebih mendapat feel tentang bagaimana masalah yang tiada henti menimpa Sri Ningsih dan bagaimana Sri berjuang menghadapi masalah-masalah tersebut.
Tere Liye sangat kompleks ketika menampilkan setiap bab kehidupan Sri Ningsih tanpa tertinggal satu tahun pun. Dimulai dari juz pertama kehidupan Sri di Pulau Bungin, Tentang Kesabaran, yakni dari tahun kelahiran Sri 1946 sampai 1960 saat Sri meninggalkan Bungin untuk bersekolah di Surakarta. Dalam rentang waktu 14 tahun ini, Sri kecil telah ditempa dengan ujian yang seharusnya tidak dirasakan anak seusia Sri. Sri telah menjadi "gadis kecil yang dikutuk" bagi ibu tirinya. Masa kecil Sri dihabiskan untuk berjuang agar tetap sabar.
Berangkat dari kisah Cinderella, agaknya Tere Liye terinspirasi untuk memakai ide ibu tiri jahat dalam mengisahkan perjuangan awal Sri. Terpukul dengan kematian suaminya, ibu tiri Sri menyalahkan Sri dan membebankan semua tanggung jawab kepada Sri. Begitupun dengan Sri yang mau saja dengan ikhlas dan sabar menghadapi ibu tirinya. Padahal di saat Sri bisa saja lari atau melawan ibu tirinya, Sri masih saja bertahan dengan sikap ibu tirinya. Sri selalu bangun sebelum subuh dan tidur paling malam untuk bekerja membanting tulang mencari uang dan melakukan pekerjaan rumah.
Tere Liye menggambarkan Sri Ningsih sebagai gadis kecil yang sangat patuh dan menepati janji kepada mendiang ayahnya yakni selalu menuruti perkataan ibu tiri dan menjaga adiknya. Sri juga digambarkan memiliki sikap sangat sempurna sebagai anak-anak. Ia tidak pernah mengeluh ataupun melawan kepada ibu tirinya. Bahkan Sri tetap berusaha menolong ibu tirinya saat kebakaran rumah mereka. Kesabaran tanpa batas dan keikhlasan inilah yang membawa Sri pada juz kedua kehidupannya.
Terima kasih banyak atas pelajaran tentang kesabaran. Bapak, aku akhirnya memahaminya. Apakah sabar memiliki batasan? Aku tahu jawabannya sekarang. Ketika kebencian, dendam kesumat sebesar apa pun akan luruh oleh rasa sabar. Gunung-gunung akan rata, lautan akan kering, tidak ada yang mampu mengalahkan rasa sabar. Selemah apa pun fisik seseorang, semiskin apa pun dia, sekali di hatinya punya rasa sabar, dunia tidak bisa menyakitinya. Tidak bisa.
      Juz kedua kehidupan Sri, Tentang Persahabatan, adalah perjuangan Sri dalam mempertahankan persahabatannya. Setelah kebakaran rumah yang menewaskan ibu tirinya, Sri dan adiknya, Tilamutta, pergi bersekolah ke Madrasah Kiai Ma'sum Surakarta. Di sana Sri mendapatkan sahabat yang menjadi awal petaka kehidupan Sri. Pada awalnya, Sri, Nur'aini, dan Sulastri bersahabat dekat. Namun, semua berubah setelah keirian dan kedengkian menyelimuti hati Sulastri. Muak dengan Nur'aini dan suaminya, Sulastri dan suaminya minggat dari madrasah dan bergabung dengan kelompok komunis yang saat itu sedang hangat-hangatnya di Indonesia. Sulastri dan suaminya pun mulai berubah dengan menjauh dari nilai-nilai agama. Sebagai sahabat, Sri berjuang untuk terus menyakinkan Sulastri agar kembali ke madrasah. Namun, semua usaha Sri gagal. Kedengkian Sulastri makin menjadi-jadi. Dengan pengaruh dari paham komunis tersebut, kelompok Sulastri menyerang madrasah dan membunuh semua orang yang ditemuinya tak terkecuali keluarga Kiai Ma'sum dan adik Sri, Tilamutta.
Apa arti persahabatan? Apa pula arti pengkhianatan? Apakah sahabat baik akan mengkhianati sahabat sejatinya? Bapak, Ibu, ternyata Sri bukan sahabat yang baik. Sri telah mengkhianati teman terbaik. Sri harus memilih, sahabat sejati atau kebenaran.... Bertahun-tahun kejadian tersebut telah berlalu, tapi Sri tetap tak bisa mengusir rasa bersalah.
Normalnya seseorang akan membenci siapapun yang menyakiti orang-orang terdekatnya, namun tidak bagi Sri Ningsih. Lagi-lagi Sri Ningsih digambarkan sebagai gadis yang "terlalu" baik hati. Di saat adiknya, Tilamutta, tewas karena kelompok Sulastri, Sri masih saja menganggap Sulastri sebagai sahabatnya. Bahkan Sri merasa bersalah kepada Sulastri. Sri beranggapan ia telah "mengkhianati" Sulastri dengan menjadi saksi di persidangan yang memenjarakan Sulastri. Walau merasa bersalah dan berkhianat kepada Sulastri, pilihan Sri untuk tetap pada kebenaran dengan bersaksi atas keterlibatan Sulastri dalam kelompok komunis adalah pilihan yang berat. Di satu sisi Sri ada sahabat dan di sisi lain ada kebenaran dan keadilan. Walau digambarkan sebagai orang yang baik dan rela berkorban, Tere Liye masih mempertahankan karakter realistis dalam melihat kebenaran pada tokoh Sri Ningsih. Terlepas dari itu, sisi positif dari kebaikhatian Sri Ningsih adalah ia tidak pernah mendendam dan selalu positive thinking kepada orang lain. Sri mudah dalam bangkit dari keterpurukan. Tere Liye secara tidak langsung mengajak pembaca untuk menjadi seperti Sri yang dengan cepat memaafkan karena inti dari memaafkan adalah menyelamatkan diri sendiri. Ketabahan hati ini pun membawa Sri kepada juz ketiga kehidupannya di ibukota Jakarta.
Setelah kejadian menyakitkan di Madrasah Kiai Ma'sum, Sri bertolak ke Jakarta memulai juz ketiga, Tentang Keteguhan Hati. Tidak seperti saat pertama kali ke Surakarta, di Jakarta Sri tidak memiliki tempat yang akan dituju. Di sinilah keteguhan hati Sri benar-benar diuji. Saat ia berjuang mencari pekerjaan dan tetap memilih bertahan di Jakarta atau kembali ke madrasah. Selama lebih kurang 12 tahun di Jakarta, Sri telah belajar banyak hal tentang dunia bisnis dan usaha. Di Jakarta Sri memulai usaha berjualan dengan gerobak dorong. Usaha tersebut berkembang pesat. Namun, beberapa tahun kemudian banyak yang meniru cara berjualan Sri dengan gerobak dorong. Akhirnya Sri banting setir dengan menjual semua gerobak dorongnya dan membuka usaha baru, rental mobil. Usaha "Rahayu Car Rental" juga berkembang pesat. Namun, lagi-lagi usaha Sri ini ditimpa ujian. Massa yang saat itu berdemo di Jakarta mengamuk dengan membakar semua produk keluaran Jepang, termasuk mobil-mobil rental milik Sri. Semua usaha dan tabungan Sri selama di Jakarta pun hangus dalam sehari. Sri yang sudah "bangkrut" pun akhirnya bekerja di sebuah perusahaan sabun cuci di Jakarta. Karena keteladanannya dalam bekerja, bos Sri mengirim Sri ke Singapura untuk belajar produk Toiletries. Berkat pemahaman dan pengalaman selama bekerja di pabrik sabun cuci, Sri kembali mencoba membangun usaha. Kali ini adalah usaha membuat sabun mandi "Rahayu". Berkat visi dan misi yang jelas dan konsisten, usaha sabun mandi "Rahayu" juga berkembang pesat bahkan mampu menyaingi perusahaan multinasional.
Tere Liye menggambarkan Sri sebagai gadis yang mudah disukai orang dan mampu belajar secara otodidak. Prinsip yang selalu dipegang Sri adalah jangan pernah menyerah. Ketika gagal 1000x maka pastikan kita bangkit 1001x. Itulah yang dilakukan Sri Ningsih. Ketika gagal dalam usahanya, ia akan kembali dengan usaha-usaha barunya. Berkat kevisionerannya, Sri mampu mengembangkan setiap usaha yang dirintisnya. Sri juga orang yang mau belajar dari orang lain dan lingkungan. Sebab itulah Sri mampu berbisnis tanpa mengenyam pendidikan bisnis. Dengan kesuksesan itu, tentu pembaca akan mengira Sri akan mendapatkan kebahagiaannya, menjadi pebisnis kaya Jakarta, berkeluarga, sesekali mengunjungi kampungnya dan madrasah, serta berpetualang ke luar negeri seperti mimpinya. Di luar dugaan, Sri malah "kabur" dari kesuksesan tersebut. Sri menjual pabriknya yang sedang jaya dengan sistem SPV dan melarikan diri ke London. Dalam suratnya yang dikirim ke Nur'aini di madrasah, Sri mengatakan harus pergi karena "hantu masa lalu" yakni Sulastri. Sri harus berjuang menyelamatkan orang-orang terdekatnya dari ancaman Sulastri. Di sini timbul pertanyaan, kenapa Sri tidak melaporkan Sulastri? Padahal saat itu Sulastri adalah kriminal yang berhasil menyuap polisi dan bebas dari penjara. Padahal dengan melaporkan Sulastri ke polisi Sri repot-repot melarikan diri jauh ke benua Eropa. Dengan uang dan kekuasaan yang saat itu telah dimiliki Sri, pasti akan mudah bagi Sri melindungi dan menjebloskan Sulastri kembali ke penjara. Namun sebaliknya, Sri malah pindah ke Eropa menghindari Sulastri dan meninggalkan kekayaannya begitu saja.