Tempat buang mayat
Saat mengelola rubrik hukum dan kriminal sekitar tahun 1993 di koran Merdeka (milik BM Diah-wartawan senior/mantan Menpen era Soekarno), saya tidak bisa duduk manis di ruang redaksi menunggu berita dari wartawan. Karena terbiasa bekerja ''lapangan'', bila ada peristiwa menarik, saya kerap ''turun'' dan berbagi tugas dengan wartawan di tempat kejadian perkara (TKP). Endang Sudarma (almarhum) dan Geong Rusdianto (kini di RCTI/MNC Grup), adalah wartawan yang gigih dan menjadi andalan untuk liputan hukum dan kriminal. Karena belum ada handphone, informasi harus diperoleh langsung dari TKP. Hasil liputan bersama wartawan, saya sajikan dalam bentuk laporan utama yang menarik untuk dibaca.
Ketika itu, tidak jarang ditemukan tiga sampai empat mayat tak dikenal di hutan karet di kawasan Serpong. Paling sering di hutan kelapa gading (kini jalan raya di depan Ruko Mendrisio, Paramout Gading Serpong hingga Jalan BSD Raya Utama menuju perumahan Puspitek, Desa Medang, Kelurahan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Kondisi mayat rata-rata sangat memprihatinkan dengan sekujur tubuh penuh belatung.
Mungkin karena jauh dari permukiman penduduk, ditambah rimbunnya hutan pohon karet/pinus/kelapa gading dan tanah yang penuh rawa menjadikan kawasan ini aman bagi pelaku untuk membuang jenazah korban yang sebelumnya dihabisi di tempat lain. Tingginya tingkat kriminalitas di kawasan Serpong dan sekitarnya mengakibatkan banyak warga lebih suka bercengkrama di rumah atau dengan tetangga dekat pada malam hari.
Lurah Musa dan ular siluman
Kala itu, Serpong adalah daerah terpencil dan merupakan hamparan hutan karet/pinus, kelapa gading dan rawa-rawa. Jumlah sekolah dan Puskesmas sangat minim. Rumah Sakit yang ada hanya RS Ashobirin. Tidak ada bioskop atau tempat hiburan. Hiburan warga kala itu antara lain pemutaran film layar tancap. Itu pun bila ada warga menggelar hajatan.
Mata pencaharian warga umumnya pegawai perkebunan karet, bertani padi, dan berdagang. Tidak banyak hasil yang bisa diharapkan dari gaji sebagai pegawai perkebunan, atau bercocok tanam di lahan milik sendiri. Sebab, persawahan di daerah ini umumnya tadah hujan. Panen hanya setahun sekali. Begitu pun hasil kebun, meski panen lumayan banyak, warga terkendala alat transportasi sulit untuk menjual ke pasar lama di Tangerang.
Kalau tidak ada keperluan penting, warga Cihuni, Cigaten, Kampung Sawah, Kampung Bugur, Pondok Jengkol, Curug Sangereng, Rawa Buaya, sebisa mungkin menghindari berpergian ke Tangerang. Untuk ke Tangerang, mereka harus naik getek karena daerah tersebut terbelah oleh Kali Cisadane yang cukup lebar. Jembatan penyeberangan hanya ada di Cisauk Serpong yang dibangun masa penjajahan Belanda.
Salah seorang warga Pondok Jengkol, Jaro Gani menuturkan, ia dan keluarga pergi ke Tangerang hanya saat menjelang Lebaran untuk beli baju baru. Namun mereka harus naik getek yang disediakan Haji Endi secara cuma-cuma untuk menyeberangkan warga ke Jalan Raya Serpong.
Haji Endi dikenal banyak orang sebagai tuan tanah yang baik hati, ringan tangan dan kerap menolong warga sekitar. Pak Haji yang masih kerabat dekat artis Jaja Miharja ini mengupah seorang petugas getek untuk menolong warga yang hendak menyeberangi sungai dari Desa Cihuni menuju Jl Raya Serpong, jalan raya satu-satunya ketika itu. Kedua wilayah tersebut baru ''terhubung'' setelah tiga jembatan besar --mampu dilewati truk bermuatan berat-- selesai dibangun tahun 1990-an. Ketiga jembatan berlokasi di Jl SKKT, Desa Cihuni, yang dibangun oleh SK Keris, di pintu masuk perumahan Gading Serpong, dan Jalan Grand Boulevard BSD.