Mohon tunggu...
Mula Efendi Gultom
Mula Efendi Gultom Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Humanis, Loyalis dan Profesional

Lahir di Pancurbatu Deliserdang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pusuk Buhit Bukit Berhala Batak

9 September 2020   16:14 Diperbarui: 9 September 2020   22:20 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang dengan mudah memberi label terhadap suatu tempat, barang bahkan dalam suatu kegiatan adat mengandung unsur berhala. Seperti halnya, ketika seseorang atau sekelompok orang mendaki dan menuju puncak Pusuk Buhit, orang lalu bertanya-tanya apakah gerangan permohonan dan keinginan orang tersebut?

Ada saja yang berprasangka naik ke Pusuk Buhit mencari kekuatan, karir, jodoh atau kesembuhan. Sementara itu ada yang mengharamkan menggunakan ulos dengan alasan, bahwa warna merah ulos itu dibuat oleh para leluhur "awalnya" berasal dari darah manusia. Demikian juga dengan kegiatan "adat batak" dimana ada disebutkan "somba marhula-hula" yang diartikan secara harfiah seolah menyembah seperti kepada Allah.

Pernah terjadi saat salah satu kepala keluarga yang mengharamkan menggunakan ulos, meninggal dunia. Kemudian datanglah kerabat dekat adik atau kakaknya dengan duka yang mendalam membawa ulos terbaiknya sebagai ungkapan rasa sayang kepada kerabat yang meninggal tersebut, namun pihak keluarga mencegah kerabat tersebut untuk "mangulosi" mayat tersebut, maka merataplah ia dengan sedih karena merasa tidak dapat melakukan adat yang sepantasnya kepada orang yang sangat dihargainya ketika meninggal dunia.

Demikian juga dengan warisan budaya seperti "piso halasan" sejenis pedang buatan leluhur yang sungguh tragis harus berakhir hanya tinggal besinya saja, karena dibakar oleh pemiliknya, dengan anggapan "pisau Halasan" tersebut "berisi roh jahat".

Anggapan barang-barang peninggalan leluhur yang sudah berumur ratusan tahun karena alasan dianggap mengandung berhala akhirnya dengan mudah melayang ketangan kolektor, seperti buku lak-lak, tombak, pisau halasan bahkan ornament rumah batak.

Fanatisme agama berlebihan telah banyak merubah cara pandang terhadap keleluhuran adat dan budaya batak. Tentu saja ini dipicu oleh tokoh agama yang mengajarkan "benda warisan leluhur" dan "kerja adat" dianggap "salah" menurut "tafsir kaca mata agama masing-masing penganutnya".

Apalagi yang menafsirkan adat secara "harfiah" seperti kalender batak yang disebut dengan "parhalaan". Seolah-olah namanya saja sudah menyerempet kata "berhala". Padahal hanya berisi penanggalan batak dan kejadian-kejadian yang diyakini akan terjadi berulang pada tanggal dan bulan yang sama, sesuai pengalaman nenek moyang orang batak.

Padahal sama seperti halnya pada jaman digital saat ini, banyak orang membuat ramalan cuaca untuk kesinambungan proses pembangunan insfrastruktur, peramalan perdagangan untuk mengantisipasi kemampuan perekonomian.

Lukisan dan pahatan leluhur yang ada pada rumah batak, tongkat dan benda lainnya, diyakini memiliki nilai seni yang tinggi dan mampu mewakili perasaan / pikiran sang pemilik. Sehingga digambarkan mata yang bulat dan besar menggambarkan keberanian dan kekuatan.

Namun Ketika kita memandang dengan "kaca mata digital" timbul prasangka kalau yang digambarkan itu adalah "mahluk dunia lain" alias roh jahat. Sehingga diberilah label "berhala" kemudian ditindak lanjuti dengan menjauhi dan layak untuk dimusnahkan.

Karena "phobia" jangan sampai ada anggapan sipemberi ulos mengartikan "ulos sumber berkat", maka setiap mengulosi tidak lupa si pemberi ulos mengatakan "bukan ulos ini yang memberi berkat tetapi dari Tuhanlah datangnya berkat kepadamu".

Inilah orang yang sudah gagal faham akan arti mangulosi, sudah tidak tahu lagi makna sebenarnya mangulosi. Karena ketakutan sang tokoh agama yang suka mengkaitkan budaya batak dengan "pagan"  "seolah semua benda peninggalan leluhur dipuja menjadi berhala" sehingga akhirnya ajarannya merusak tatanan budaya adat batak yang sebenarnya tidak salah.

Pada dasarnya setiap pemberian ulos selalu didahului dengan kata-kata harapan semoga mendapat rejeki, semoga mencapai cita-cita, semoga sehat-sehat, semoga damai sejahtera yang tentunya sudah pasti dari Tuhan namun yang mewakili dari diri kita secara fisik yaitu Ulos tersebut (Sudah selayaknya ulos di hamparkan menyelimuti tubuh orang yang di ulosi, karena ulos memang untuk menghangatkan tubuh, bukan berarti itu menunjukkan menjadi sumber berkat).

Sehingga "kata-kata pengharapan dan ulos menjadi sepasang pemberian", satu mewakili rohani(doa) dan satunya lagi mewakili fisik(ulos), maka lengkaplah pemberian tersebut. Dari jaman "baheula" tidak pernah orang batak mimpi dan mengharapkan "ulos yang mewujudkan berkat".

Pusuk Buhit yang melegenda dianggap sebagai asal muasalnya orang batak dimana Raja batak membangun kerajaannya, ada saja orang yang datang untuk mencari kesembuhan, kekuatan, karir bahkan jodoh.

Hampir sama dengan Gunung di jawa yang dipercaya oleh masyarakat sekitarnya memiliki kekuatan gaib yang dapat diminta dengan memberikan sesaji.

Namun sejauh ini Bukit atau Gunung tersebut tidaklah pernah salah, yang salah adalah orang-orang yang melakukan transaksi gaib di gunung atau bukit tersebut.

Dalam kitab suci Kristiani Matius 14:23 Yesus naik ke bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam ia sendirian di situ (tidak ada orang yang menafsirkan Yesus bertapa melakukan perenungan dan mencari kekuatan gaib).

Pertanyaannya salahkah kita naik ke Pusuk Buhit untuk berdoa ?

Dalam kitab suci kristiani kita dapat melihat beberapa kali disebut betapa pentingnya "bukit" dalam tradisi keagamaan.

Dalam Kel 17:10-11 Musa, Harun dan Hur naik ke puncak bukit saat Yosua berperang dengan orang Amalek. Apabila Musa mengangkat tangannya dengan tongkat di tangan maka kuatlah orang Israel.

Dalam 1 Raja-raja 3:5 Dibukit Gibeon Salomo mendapat rahmat terbesar yaitu "hikmat".

Kejadian 22:2 Allah memerintahkan Abraham untuk mempersembahkan anaknya Ishak di salah satu gunung yang akan ditunjukkannya di tanah Moria.

Keluaran 19:11 Tuhan akan turun didepan mata seluruh bangsa itu di gunung Sinai.

Dalam kitab Injil disebutkan Yesus banyak memberi pengajaran  di atas bukit.

Ini menunjukkan ada kuasa besar diatas bukit atau gunung, dimana para abdi Allah naik keatas puncaknya seolah mencarger dan mengupgrade kerohaniannya.

Sudah menjadi kebiasaan "agen kekuatan gelap" memanfaatkan tempat-tempat dimana orang ingin mendapat kekuatan Illahi, para agen kekuatan gelap menunggu mangsa orang-orang yang menginginkan rejeki, kekuatan, kesembuhan dan karir dengan jalan instan. Seperti musang berbulu domba, seolah kekuatan yang ditawarkan adalah kekuatan Illahi.

Yesus sendiri sebagai gambaran manusia biasa, naik keatas bukit sendirian pada malam hari dan berdoa. Sebagai umatnya, seharusnya juga mencontoh apa yang telah dikerjakan Yesus.

Banyak dari kalangan rohaniawan yang memberi label Gunung Pusuk buhit sebagai tempat berhala, pada hal disemua tempat orang dapat terjebak dalam praktek berhala. Demikian juga sama dengan di bukit atau gunung, tempat ibadah pun menjadi sasaran empuk agen dunia menggoda para rohaniawan dengan uang, ketenaran dan kekuasaan.

Perebutan pimpinan suatu tempat ibadah bukan hal baru kita dengar di negeri kita ini, bukti mereka belum dapat membedakan antara melayani atau  menguasai.

Bung Karno pernah berkata "kalau hindu jangan jadi orang India, kalau  Islam jangan jadi orang Arab, kalau Kristen jangan jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya raya ini".

Karena itu, menghargai budaya sendiri adalah sama dengan mengagungkan leluhur yang sudah menjadi jalan bagi kita hadir di dunia ini, masa lupa kacang akan kulitnya.

Tempat dimana leluhur kita pernah beraktifitas, berkreasi membentuk perkampungan bahkan kerajaan adalah bagian dari tempat, dimana "para leluhur berdoa kepada Tuhannya" atas keturunannya kelak semoga dapat meneruskan harapan dan cita-cita para leluhur, keturunan tempat mereka berharap yaitu  diri kita saat ini.

Bangga dengan dengan budaya, bangga dengan pakaian adat dan bangga dengan tempat dimana mereka pernah bermukim dan membentuk sosialisasi, tidak akan pernah merusak dan merubah iman kita kepada Yang Maha Kuasa.

Karena itu, kalau kita tidak menghargai karya leluhur siapa lagi? kalau tidak sekarang kepan lagi? jangan sampai kita kehilangan identitas dan jati diri. Sadari "karya agung" leluhur terbentuk dengan alami bertahap, terevaluasi dan disempurnakan dari masa ke masa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun