Mohon tunggu...
Mula Harahap
Mula Harahap Mohon Tunggu... -

Banyak sekali hal yang saya lihat di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini--baik secara langsung, maupun melalui media massa--yang membuat saya gregetan dan "darah tinggi". Saya tak tahu harus kemana melampiaskan perasaan tersebut. Kalau saya menempeleng orang yang berpapasan dengan saya di jalan, dan yang kebetulan membuat gara-gara kepada saya, maka saya bisa dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dikeroyok orang sekampung atau ditangkap polisi. Untunglah ada "kompasiana" tempat saya melampiaskan semua pikiran dan perasaan yang menggangu ini :-) http://mulaharahap.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Lagu "Jadul" dan Youtube

29 Juli 2009   14:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:53 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya duduk di bangku SD (1960-1966) sarana yang paling utama untuk mendengar lagu populer adalah radio (yang ada "mata kucing"-nya yang berwarna hijau itu). Tape recorder masih merupakan barang langka, dan piringan hitam hanya dimiliki oleh orang-orang kaya.

Karena itu kalau kami hendak menyalin teks sebuah lagu (Ernie Johan, Patty Bersaudara, Tety Kadi dsb) maka yang kami andalkan adalah radio. Bila lagu yang kami senangi itu sedang diperdengarkan di radio dalam sebuah acara "pilihan pendengar", maka kami pun buru-buru mengambil pensil untuk mencatatnya. Tentu saja dalam satu kali mendengar, kami tak bisa mencatat seluruh teks lagu. Kami harus menunggu sampai lagu tersebut diperdengarkan kembali di radio. Cilakanya pada masa itu stasiun radio hanyalah RRI. Karena itu untuk berhasil mencatat teks sebuah lagu secara lengkap dan benar dibutuhkan waktu beberapa hari. Dan karena itu juga, pinsil dan buku catatan selalu harus stand-by di dekat radio.

Adakalanya juga kalau nasib sedang baik, kami menemukan teks lagu tersebut di halaman hiburan koran mingguan. Biasanya koran juga menyelenggarakan rubrik "pilihan pendengar". Tapi alih-alih diperdengarkan, maka yang dimuat adalah teks lagu tersebut. Dan barulah di bawahnya menyusul nama siapa yang meminta lagu tersebut, kepada siapa hendak ditujukan, dan apa ucapannya. (Dari: Jaka Merana di Pondok Derita. Untuk: Si Dia. DU (dengan ucapan, maksudnya): Ada ubi ada talas. Kalau kirim lagu harap dibalas).

Untuk bisa dimuat dalam rubrik pilihan pendengar di koran, tentu saja kami harus mengirim kartu pos dengan disertai kupon yang digunting dari koran tersebut. Sama halnya seperti kita mengirim TTS. (Saya pernah mengirim kartu pos meminta lagu ke Radio Australia di Melbourne. Dua bulan kemudian karu pos saya dijawab dengan kartu pos Radio Australia yang ada gambar burung kokabura itu. Di sana dintakan bahwa lagu saya akan diputar--dan itu berarti nama saya akan disebut--pada hari, tanggal dan jam tertentu dua bulan mendatang. Bukan main senangnya hati saya. Dan sampai sekarang saya masih tetap menganggap itulah "one of the happiest days in my life").

Mereka yang memiliki alat pemutar piringan hitam (namanya "pick-up") tentu saja jauh lebih beruntung. Mereka bisa menyalin teks lagu tersebut dari sampul piringan hitam. Atau, kalau pun tak menyalinnya, mereka bisa mentranskripsinya ketika piringan hitam tersebut diputar. Dan karena piringan hitam itu ada di hadapan mereka, maka mereka bisa memutarnya berkali-kali.

Atau, kalau kami punya duit, kami juga bisa membeli teks lagu di toko buku. Biasanya ada majalah (atau tepatnya "booklet") berukuran selembar kertas kwarto yang dilipat tiga berisi beberapa teks lagu populer. Booklet itu diberi judul seperti majalah: Nada Ria, Aneka Nada, Diskotik, dsb. Harganya relatif murah, hampir sama dengan sebatang pensil. Tapi karena majalah atau booklet itu diterbitkan di Pulau Jawa, tentu saja ketika tiba di kota kami--Medan--lagu populernya sudah relatif ketinggalan.

Karena itu pada jaman saya masih SD teks lagu adalah sebuah komoditas yang berharga dan bisa saling dipertukarkan. Hampir semua kami memiliki buku tulis yang penuh berisi teks lagu-lagu populer. Kadang-kadang ruangan kosong di sekitar teks itu kami "iluminasi" dengan gambar-gambar vignet perempuan yang rambutnya dipotong pendek serta melengkung ke depan dan di sudut matanya ada air mata sebesar bawang bombay.

Saya memang penggemar lagu-lagu populer Indonesia pada waktu itu. (Sampai sekarang pun saya masih bisa melafalkan lagu-lagu Patty Bersaudara, Rahmat Kartolo, Alfian dsb itu di luar kepala, dan membuat anak perempuan saya terkagum-kagum). Tapi pada jam pelajaran menyanyi, tetap saja saya tidak berani melantunkannya di kelas. Tetap saja saya melantunkan "Dari Sabang Sampai Merauke", "Bendera Merah Putih", dsb. Hanya anak-anak yang "berbakat" saja yang berani menyanyikan lagu-lagu populer pada mata pelajaran menyanyi.(Dan pakai gerakan tangan pulak).

Tadi malam, ketika sedang bermain-main internet, tiba-tiba saya disadarkan betapa jaman sudah sangat "maju" dan berubah. Kini untuk mengetahui teks lagu apa saja, saya tinggal meng-klik "google search" dan memasukkan kata "lyric" serta lagu yang saya inginkan. Lalu google akan memunculkan sederet situs yang memuat teks lagu tersebut. Atau, kalau saya ingin mengetahui teksnya dan mendengar irama sebuah lagu, maka saya tinggal meng-klik youtube dan memasukkan judul lagu yang saya inginkan. Bahkan lagu-lagu yang populer pada jaman saya SD, dan yang dulu harus saya saln dengan susah payah lewat radio, kini ditampilkan oleh youtube dengan gamblangnya. Dan saya sedang berangan-angan, setelah menulis postingan ini saya akan membuka sebuah file di komputer. Saya akan simpan semua teks dan video-clip lagu yang saya senangi, seperti dulu saya memelihara buku tulis yang penuh dengan ilustrasi perempuan yang sedang menangis dengan air mata sebesar bawang bombay.

Begitulah, ketika saya sedang asyik meng-klik berbagai lagu jaman dulu itu, anak lelaki saya keuar dari kamarnya dan datang meghampiri saya. Katanya, "Dari tadi saya perhatikan Bapak sibuk mendengar lagu-lagu nostalgia. Kenapa sih? Lagi jatuh cinta, ya?"

Akh, pukimbeknya anak ini, semoga Tuhan mengampuni kelancangannya. Dia tidak tahu bahwa Bapaknya sedang terkagum-kagum dengan kemajuan teknologi, dan membayangkan betapa susahnya ternyata hidup pada jaman dahulu [.]

Oleh: Mula Harahap

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun