Besoknya–hari Minggu pagi–ketika saya hendak pergi ke gereja, saya melihat anak saya sedang duduk di depan komputer. Sambil mengikat tali sepatu–dan mengesankan sikap yang “tak butuh-butuh amat”–saya kembali berkata kepada anak saya, “Eee, nanti jangan lupa, kau down-load-kan dulu video itu….” Dan siangnya, selesai kebaktian, ketika saya kembali menyalakan ponsel, saya menerima pesan SMS dari anak lelaki saya itu, “Sudah saya down-load. Nama filenya Luna Maya. Selamat menikmati….” Dan ketika video itu saya tonton, tentu saja di mata saya (lelaki yang berumur 56 tahun ini) tak ada hal yang terlalu istimewa lagi di sana. Dan urusan video selesai sampai di situ.
Besoknya–hari Senin pagi–ketika tiba di kantor dan menyalakan komputer, maka di layar monitor langsung muncul pesan chatting dari anak lelaki saya, “Bapak, sekarang ada seri video yang lebih baru lagi. Ariel dan Cut Tari. Ha-ha-ha-ha! Ini link-nya……..”
Ketika link tersebut saya buka, kembali saya mendapat kesulitan untuk men-down-load. Tapi kepada siapa saya harus minta tolong? Karena di kantor ini saya adalah orang yang terhitung pimpinan dan salah satu yang dituakan, terpaksalah saya diam-diam saja. Tapi siangnya, ketika saya berjalan ke kantin, saya melihat di berbagai meja di kantor yang besar ini para karyawan–lelaki maupun perempuan, tua maupun muda, dan yang saleh maupun yang kurang saleh–sibuk menonton, tertawa-tawa, tersenyum-senyum dan menelengkan kepala. “Ada apa sih?” tanya saya kepada suatu kumpulan orang dan ikut bergabung menonton.
Dan siangnya, saya memanggil seorang anak buah yang terkesan “paling porno”. Kata saya kepada anak buah itu, “Tolong dulu kau down-loadkan video itu ke komputer ini….”
Sorenya, salah seorang adik saya berkirim SMS kepada saya, “Bang Mula punya video itu, nggak? Kalau punya, tolonglah bagi kepada saya….” Sebenarnya abang yang paling langsung dari adik saya itu adalah Daniel Harahap. Tapi entah kenapa, dari dulu, kalau ada urusan yang “aneh-aneh” dia tidak pernah berhubungan dengan abang yang masih sepantarannya itu. Dia selalu mem-by-pass hierarki dan langsung berhubungan dengan saya, anak yang paling tua ini.
Disebabkan tak mau mengecewakan adik sendiri, dan juga disebabkan selalu ingin menjaga citra sebagai abang yang bisa diandalkan untuk segala hal, maka tentu saja–dengan berbagai cara–permintaan adik tersebut harus saya penuhi. Besok sorenya (Selasa) saya mampir di kantor Yakoma-PGI (Pelayanan Komunikasi untuk Masyarakat dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia). Kepada seorang staf yang sehari-harinya bekerja mengurusi produksi audio visual, saya berkata, “Tolong dulu cari disc kosong, dan kau pindahkan dulu ini ke disc tersebut…” Lalu sementara dia membawa komputer laptop saya ke dalam, saya duduk minum kopi di dapur.
Karena terlalu lama menunggu proses pemindahan rekaman dari komputer laptop ke disc, maka saya pun masuk ke kantor Yakoma. Ternyata semua karyawan (lelaki maupun perempuan, yang liberal maupun yang fundamental) sedang mengerubung di depan layar komputer. Dengan gaya “jaim” saya pun berkata, “Bagus. Bagus. Sebagai lembaga yang mengurusi media dan komunikasi, kita memang harus selalu tahu apa yang sedang terjadi di masyarakat….”
Bermacam-macam komentar karyawan yang menonton video tersebut. Seorang perempuan yang terkenal sebagai “pejuang feminist” menyeletuk, “Wuah, wuah, ini tidak bisa. Ini namanya kekerasan terhadap perempuan….” Lalu kawannya yang lain–seorang lelaki–menyeletuk, “Yah, memang musti keras. Kalau tak keras bagaimana hubungan bisa terjadi….” Lalu semua tertawa terbahak-bahak.
Malamnya di rumah, isteri menyeletuk entah kepada siapa, “Seperti apa sih video itu? Koq dimana-mana orang heboh sekali dbuatnya…” Rupanya dia “termakan” juga dengan pemberitaan di berbagai acara infotainment.
Mendengar celetukan isteri saya, tentu saja saya pura-pura berkata, “Saya pun tak tahu. Tanya sajalah anakmu……” Lalu isteri saya pun berkata kepada anak saya yang sedang asyik menonton teve, “Ya, Bang, seperti apa sih video itu? Kasih lihat dulu sama Mama….”
Anak saya–yang rupanya sedang sibuk menonton–tanpa banyak berkata-kata langsung beranjak mengambil komputer laptop saya dan menyalakannya. Kata anak saya, “Nih, sebenarnya ada di laptop suamimu. Nonton, deh…..” Setelah gambar itu muncul, dia pergi menjauh dan meneruskan menonton teve. Tinggallah saya bersama iseri saya.