Mohon tunggu...
Mula Harahap
Mula Harahap Mohon Tunggu... -

Banyak sekali hal yang saya lihat di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini--baik secara langsung, maupun melalui media massa--yang membuat saya gregetan dan "darah tinggi". Saya tak tahu harus kemana melampiaskan perasaan tersebut. Kalau saya menempeleng orang yang berpapasan dengan saya di jalan, dan yang kebetulan membuat gara-gara kepada saya, maka saya bisa dimasukkan ke rumah sakit jiwa, dikeroyok orang sekampung atau ditangkap polisi. Untunglah ada "kompasiana" tempat saya melampiaskan semua pikiran dan perasaan yang menggangu ini :-) http://mulaharahap.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Insiden Tari Pendet, Nation-State dan Kebudayaan Nusantara

27 Agustus 2009   12:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:47 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nation State

Sama seperti Indonesia, Malaysia adalah sebuah nation-state, atau sebuah bangsa baru yang terbentuk karena juridiksi negara, dan yang karenanya sedang berusaha keras untuk membentuk identitas dirinya.

Pembentukan identitas sebagai sebuah bangsa baru adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Tak usahlah kita terlalu bangga dan merasa lebih hebat dari Malaysia. Proses menjadi Indonesia juga adalah sebuah hal yang masih jauh dari selesai. Memang kita memiliki batik, tortor, tari serampang dua belas, baju bodo, dsb. Tapi dalam praktek (kecuali kalau berhadapan dengan fihak luar) kita tokh juga sering sekali menganggap semua itu masih sebagai sesuatu yang Jawa, Batak, Melayu Deli, Bugis dsb. Kita belum menganggapnya sebagai sesuatu yang Indonesia. (Dan proses menjadi Indonesia itu menjadi tambah rumit lagi ketika faktor sentimen agama juga mulai muncul).

Sebagai sebuah nation-state yang terdiri dari etnis Melayu (dan Melayu itu pun bermacam-macam: Ada Melayu dari Semenanjung Malaya, Mandailing, Minang, Jawa, Bugis, Dayak dsb), etnis Tionghoa dan etnis India, maka proses untuk menjadi Malaysia memang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi para intelektual dan pemimpin politik Malaysia sedang bekerja keras untuk itu. (Dan jauh lebih keras daripada yang dilakukan oleh para intelektual dan pemimpin politik Indonesia dalam merumuskan ke-Indonesia-an kita).

Sebagai negara yang juga berada di Nusantara ini maka adalah wajar kalau dalam upanya membangun bangsa, Malaysia banyak mengambil inspirasi dari Indonesia karena sebagian besar warga Malaysia tokh berasal dari bangsa yang sama seperti Indonesia sebelum menjadi nation-state yang berdiri sendiri).

Dalam upaya membangun bangsa yang baru itulah maka sejak dulu di sekolah-sekolah Malaysia juga sudah dianjurkan untuk dibaca novel-novel karya sastrawan Indonesia. (Dan kita jangan lupa ketika pemerintah kita dengan bodohnya melarang peredaran karya-karya Pramoedya Ananta Toer, maka di Malaysia karya-karya tersebut justeru dianjurkan untuk dibaca di sekolah-sekolah mereka).

Pemerintah dan masyarakat Malaysia juga selalu rajin untuk mengajak Indonesia duduk bersama untuk menyempurnakan bahasa yang sama, dan yang di sana disebut sebagai bahasa Malaysia dan di sini disebut sebagai bahasa Indonesia itu. Demikian juga selama ini pemerintah dan masyarakat Malaysia cukup banyak mengajak Indonesia untuk melakukan kerjasama di bidang kesenian, pendidikan, penerbitan, siaran radio/televisi dsb. Tapi entah mengapa ada kesan bahwa bahwa dalam kerjasama yang bersifat pengembangan kebudayaan ini Malaysia-lah yang lebih bersemangat. Ada pun Indonesia cenderung bersikap adem-ayem dan tidak terlalu antusias. Boleh jadi penyebabnya adalah karena kita (Indonesia) memang belum melihat betapa pentingnya faktor kebudayaan dalam pembangunan negara kita. Kemudian, disamping masih lebih terobsesi kepada faktor faktor ekonomi, besar kemungkinan kita memang diliputi oleh rasa curiga dan ketakutan yang berlebihan terhadap Malaysia. Padahal kalau kita mengaku diri sebagai sebuah bangsa yang besar, tak perlulah kita bersikap demikian.

Penutup

Sama seperti Indonesia, maka rakyat dan bangsa Malaysia juga adalah rakyat dan bangsa yang punya "proud". Janganlah kita memaki-maki rakyat dan bangsa itu dalam setiap skandal yang terjadi menyangkut hubungan kita dengan Malaysia.

Adalah suatu hal yang sangat tidak bijaksana kalau hanya gara-gara insiden kecil (menyangkut urusan uang, dan yang dilakukan oleh para kapitalis) kita merusak sebuah cita-cita besar untuk membangun sebuah budaya baru (dan yang—mudah-mudahan—bisa memberikan sumbangsih bagi peradaban dunia) di Asia Tenggara ini, dan yang sekarang terbagi-bagi dalam negara yang bernama Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Kalau pun Indonesia belum bisa “menjajah” negara yang disebut terakhir ini (yang juga sedang dalam pergumulan mencari identitas nasionalnya) secara ekonomi atau militer, maka paling tidak Indonesia harus “menjajahnya” secara kebudayaan.

Seyogianya Indonesia-lah yang mewarnai budaya negara-negara yang dihuni oleh ras Melayu yang ada di Asia Tenggara (Nusantara) ini. Tapi kalau kita selalu berpikir sempit dan curiga, maka alih-alih menjadi faktor penentu kelak kita ini hanya akan menjadi anak bawang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun