Mohon tunggu...
Mukti Amini Farid
Mukti Amini Farid Mohon Tunggu... -

seorang ibu rumah tangga biasa, yang ekspresif, ulet, romantis, dan detail. sekarang nyasar profesinya jadi dosen PAUD di sebuah kampus negeri. tapi kadang2 juga jadi peneliti, kadang auditor, kadang redaktur, kadang konsultan TK, kadang narsum tivi, kadang tukang fotokopi, kadang operator telpon, kadang juru ketik, kadang guru ngaji, kadang badut, whateverlah. kerjaan apa aja asal halal, sabet aja. he

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Surat Cinta untuk Ibu Menteriku: Pejabat & Kepatutan Berperilaku

28 Oktober 2014   20:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:25 3397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_370050" align="aligncenter" width="600" caption="Susi Pudjiastuti/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Ibu, saya tulis surat ini untukmu, sebagai ungkapan rasa hatiku, sebagai (sesama) ibu.

Tentu saya sangat gembira, saat di hari Minggu sore tanggal 26 oktober lalu, beberapa ibu yang berkualitas dan tak diragukan dedikasinya, maju ke depan dipanggil satu-persatu. Menjadi menteri ini dan itu. Alhamdulillah, kiranya kiprah perempuan mulai lebih banyak mendapat penghargaan di negeri ini.

14144793341052884165
14144793341052884165
Namun, saat hari makin senja Minggu itu, saya mulai dikagetkan dengan tulisan di salah satu media massa, tentang ibu. Aduh Ibu, tulisan yang bersifat laporan pandangan mata itu sungguh mengganggu saya. Bahwa selepas dipanggil pak presiden itu, ibu diwawancarai para wartawan sambil menghabiskan satu batang rokok. Meski berita itu dikemas dengan pembahasaan ‘unik’, atau ‘nyentrik’, tapi bagi saya, sama sekali tidak begitu bu. Maaf ya Bu, lalu saya mulai gugling, tentang sosok Ibu, yang namanya pun baru saya tahu sejak pengumuman kabinet kerja itu.

Menilik pengalaman hidup Ibu untuk tetap terus struggle, benar kesan orang: ibu sedikit dari manusia yang tak bersekolah tinggi, tapi banyak mengukir prestasi. Saya salut sekali, bagaimana ibu bisa mengentaskan kemiskinan bagi para nelayan di sekitar Pangandaran, juga ulet dalam mencari peluang berusaha, mulai dari bawah, hingga menjadi pengusaha maskapai yang cukup sukses seperti sekarang. Saat banyak sarjana perikanan kini masih menjadi pengangguran, ibu justru telah mampu banyak menyediakan lapangan pekerjaan. Saya juga menyimak, bagaimana ibu berani keluar sekolah saat kelas dua SMA dengan alasan jenuh, padahal sudah disekolahkan di SMA bonafid di Yogyakarta. Saya juga sedikit menyimak tentang keluarga ibu, yang juga ternyata adalah seorang ibu dengan satu putra. Pun saya juga menyimak, bahwa ibu termasuk pengusaha yang nyentrik, suka merokok, minum wine dan memiliki tato.

Tentang hal yang terakhir itu, Ibu. Sebetulnya Bu, bagi saya pribadi, orang mau merokok sehari 5 bungkus atau menenggak wine bergelas-gelas dalam hitungan jam, tidak terlalu mengusik hati saya. Apalagi jika dia artis atau pengusaha, yang dikabarkan kehidupannya tak jauh dari dua benda itu. Tetapi masalahnya, mulai minggu senja itu, Ibu tak lagi pengusaha biasa. Ibu sudah menjadi pejabat publik, yang disorot gerak-geriknya oleh berjuta pasang mata rakyat Indonesia. Termasuk diantaranya, anak-anak, yang juga ikut menonton dan menyimak salah satu penggal bersejarah di negeri ini, melalui televisi dan layar internet.

Ibu Menteri, saya adalah seorang pendidik, yang banyak berhubungan dengan guru dari anak-anak kecil di lembaga PAUD. Sejak awal, guru-guru TK yang saya ajar, selalu saya tanamkan tentang bagaimana memberikan pengaruh yang besar melalui keteladanan, jika ingin membentuk kebiasaan baik pada anak. Lucu sekali, jika seorang guru TK mengingatkan anak didiknya “Ke sekolah jangan pakai rok mini”, sementara nanti di luar jam sekolah, si guru kedapatan memakai rok mini oleh anak didiknya, sambil asyik ketawa-ketiwi. Hal seperti itu disebut dengan gezag, kewibawaan. Seorang guru akan didengar perkataannya dengan baik dan dituruti nasehatnya oleh anak, bila ia memiliki kewibawaan. Dan kewibawaan itu antara lain terbentuk pada anak, melalui pantulan sikap perilaku dari gurunya, yang layak dijadikan teladan. Lalu, apakah tidak boleh memakai rok mini? Bukankah itu hak azasi? Ini tentu bukan perkara boleh atau tidak boleh. Tetapi, seorang guru TK tidak patut jika kemana-mana memakai rok mini, karena itu akan merusak kewibawaannya sebagai pendidik. Mungkin ada profesi lain yang lebih tepat untuk itu, artis, atau pengusaha konfeksi.

Pun halnya dengan merokok, yang bahkan hingga level SMA, saya yakin tidak ada sekolah di negeri ini, yang menyatakan bahwa sekolahnya membebaskan muridnya untuk merokok. Meskipun pada saat jam istirahat. Beberapa sekolah, bahkan dengan tegas menyatakan sekolahnya adalah sekolah bebas rokok. Dan itu juga berlaku bagi guru-guru, tak hanya murid saja. Nah, alangkah sulitnya bagi kami para pendidik, jika lalu ada pejabat publik,seorang Ibu, yang merokok di depan umum usai baru saja diumumkan menjadi mentri. Bagaimana fenomena ini harus dijelaskan, agar anak-anak tak memiliki alibi, “Kok nggak boleh ngerokok di sekolah? Tuh bu mentri aja ngerokok di istana”.

Atas kejadian di Minggu sore itu, maaf, tak tahan waktu itu saya untuk tak menulis status di laman fesbuk:

14144794191369779060
14144794191369779060
Maka, Ibu, jika kemarin sempat ada tulisan yang menyesakkan dada tentang kejadian ‘unik’ yang ibu lakukan di halaman istana, saya yakin ini bagian dari taqdir Tuhan yang Maha Kuasa. Saya juga memaklumi, barangkali Ibu masih terbawa-bawa kebiasaan lama, saat masih menjadi pengusaha yang merdeka. Maka, tulisan di berbagai media itu, anggaplah sebagai akselerasi sarana bagi ibu untuk berbenah diri. Kalau tak ada tulisan itu, mungkin kejadiannya lain lagi. Karena, ibu kini bukan lagi pengusaha biasa atau ibu dari putra ibu sendiri, tapi ibu kini telah menjadi ibu seluruh anak di negeri ini. Menjadi ibu bangsa. Jika pun belum mampu berhenti dari kebiasaan lama (merokok dan menenggak wine), mungkin Ibu perlu sedikit berupaya untuk melakukannya, hanya jika ada di ruang pribadi saja. Sukur-sukur ibu benar-benar bisa meninggalkan keduanya. Ada banyak terapi atau cara yang dapat dilakukan untuk meninggalkan rokok dan miras lho bu, jika ada kemauan. Bukankah kampanye anti rokok juga salah satu program unggulan dari teman Ibu sesama menteri? Silahkan tanyakan pada kolega ibu, Ibu Nila Moeloek, yang diamanahi sebagai mentri kesehatan.

Maaf ibu, jika surat ini mengusik kenyamanan. Tapi inilah ungkapan kegelisahan seorang ibu, yang justru sedang menaruh harapan pada salah seorang Ibu lain yang ditunjuk negara mewakili kaumnya. Saya tetap salut dengan banyak kelebihan dan daya juang ibu yang luar biasa, meski tak mengenyam pendidikan tinggi. Baru beberapa orang yang saya catat tidak memiliki pendidikan tinggi tapi mengukir segudang prestasi di negeri ini, seperti KH Agus Salim, Adam Malik, dll. Semoga prestasi dan kinerja ibu juga akan berkibar seperti mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun