Mohon tunggu...
Mukti Ali Asyadzili
Mukti Ali Asyadzili Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah

Seorang Guru Sejarah di Bali

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Disabilitas Tunanetra Siap Menyambut Revolusi Industri 4.0 Melalui Gerakan Literasi

30 Juli 2019   17:22 Diperbarui: 30 Juli 2019   17:49 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak perangkat lunak membaca perintah suara dan menerjemahkan teks menjadi suara untuk pengoperasian telepon genggam dan komputer mulai digunakan, penggunaan smartphone bagi penyandang disabilitas tunanetra juga kian populer. Al Diwani juga memanfaatkan telepon gemnggamnya untuk membaca melalui audiobook. 

Meski demikian, pilihan dan cara mengaksesnya sangat terbatas. Al Diwani yang menyandang disabilitas tunanetra pada era milenial adalah potret yang bisa menggambarkan masih sulitnya akses literasi bagi penyandang disabilitas tunanetra, apalagi bagi yang tidak memiliki kemampuan membaca huruf braille.

Dalam upaya memenuhi hak akses informasi dan ilmu pengetahuan bagi penyandang disabilitas netra, pemerintah telah menjaminnya pada pasal 24 B UU No.8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi melalui media yang mudah diakses. 

Satu satu teknologi untuk memudahkan hak akses disabilitas tunanetra dalam memperoleh ilmu pengehuan, informasi dalam bentuk buku dan karya sastra adalah memindai buku menjadi buku format huruf braille. Hanya saja pemanfaatan teknologi huruf braille saat ini semakin jarang dijadikan pilihan bagi penyandang disabilitas netra saat membaca buku. Teknologi ini kian tertinggal ditengah cepatnya digitalisasi. Penyebabnya sangat beragam, yang pertama, banyak penyandang disabilitas tunanetra kehilangan penglihatan saat remaja atau dewasa karena sakit atau kecelakaan seperti Al Diwani. 

Disabilitas tunanetra pada kelompok ini tentu memiliki sensibilitas kepekaan huruf braille yang rendah. Sehingga tidak memungkinkan untuk bisa membaca buku dengan cepat, tepat, dan nyaman. 

Kedua, dibutuhkan software dan alat cetak khusus untuk mengkonversi buku menjadi format braille yang siap dibaca. Sehingga untuk mengakses atau menyediakan buku dengan dengan format braille membutuhkan biaya yang lebih mahal. 

Ketiga, disabilitas tunanetra yang lahir pada tahun 80-an, 90-an, dan tahun 2000-an memasuki babak milenial. Artinya generasi disabilitas tunanetra juga telah terpapar dalam percepatan kemajuan teknologi dan informasi sehingga juga turut membutuhkan teknologi yang lebih praktis dan cepat.

Lantas, bagaimana mengimbangi gerakan literasi untuk disabilitas tunanetra di era milenial? Tentunya dengan Digitalisasi. Digitalisasi menjadi kunci bagi disabilitas tunanetra untuk membuka ruang berekspresi dan belajar dengan luas. Meski huruf braille tidak akan tergantikan, namun digitalisasi bagi disabilitas tunanetra seperti hadirnya buku elektronik lalu berkembang menjadi audiobook, juga menjadi pilihan cerdas untuk mengakses dan membaca informasi dalam bentuk buku. Al Diwani adalah salah satu pengguna audio book saat membaca. Audiobook yang hadir dalam bentuk suara memungkinkan disabilitas tunanetra membaca buku dengan mendengar. Buku terakhir yang dibaca dengan audiobook adalah I Can Dance In The Rain karya Timotes Talip. 

Butuh durasi 5 jam 22 menit untuk menamatkan buku tersebut. Audiobook ini disimpan dalam bentuk file MP3 di smartphone miliknya. Saat ingin membaca buku, Al Diwani akan memberikan perintah berupa suara. Setelah menunggu beberapa saat, bukunya akan mulai bercerita. Namun akses, kuantitas dan kualitas audiobook masih tergantung pada volunteer yang bersedia menjadi narator sebuah buku. 

Revolusi industri 4.0 telah didepan mata. Penyebaran informasi menembus ruang dan waktu, bergerak secepat menggerakkan jari. Jika tidak ada pemutakhiran teknologi ramah disabilitas, maka kelompok penyandang disabilitas khususnya disabilitas tunanetra adalah kelompok yang rentan tergilas oleh serangan informasi. Untuk itu dibutuhkan inovasi teknologi yang lebih fleksibel dan mampu memudahkan disabilitas tunanetra menjadi mandiri dan berdaya dalam mengakses dan membaca buku.

Berdasarkan analisis masalah dan kebutuhan tersebut, maka perlu mengupayakan inovasi audiobook menjadi Digital Talking Book Library berbasis spoken web. Inovasi ini adalah gagasan cerdas dan tepat yang mampu menjawab kebutuhan disabilitas tunanetra. Produk dari gagasan ini adalah platform spoken web interaktif yang menyediakan dan mengumpulkan audio book dan buku elektronik layaknya perpustakaan. Spoken web adalah platform yang disertai fitur kemampuan untuk mengubah suara menjadi perintah dan menerjemahkan huruf menjadi suara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun