Mohon tunggu...
Mukti Wibawa
Mukti Wibawa Mohon Tunggu... Konsultan Manajemen -

Konsultan manajemen. Motivator bisnis. Membantu meningkatkan penjualan, profit, dan produktivitas pribadi atau perusahaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membeli Jalan ke Surga

26 Februari 2017   06:55 Diperbarui: 26 Februari 2017   16:00 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Stairway to Heaven.

There's a lady who's sure all that glitters is gold

And she's buying a stairway to heaven

When she gets there she knows if the stores are all closed

With a word she can get what she came for

Ooh ooh, and she's buying a stairway to heaven.



Ada seorang wanita yang yakin semua yang berkilau itu emas

Dan dia membeli tangga ke surga

Saat sampai di sana dia tahu semua toko sudah tutup

Dengan sepatah kata dia bisa dapatkan yang diinginkan

Ooh ooh, dan dia membeli tangga ke surga.

"Dia membeli tangga ke surga" demikian bait pertama lagu yang diciptakan Led Zeppelin tahun 1971.  Lagu diatas terpilih di urutan ke tiga lagu rock paling top sepanjang masa, 100 Greatest Rock Songs.  Lagu ini menjadi sangat disukai karena liriknya yang kuat tapi penuh misteri, disamping tentu saja, melodinya yang progresif berangsur-angsur meningkat menuju klimaks lagu.

Membeli Surga Lewat Pilkada.

Jimmy Page dan Robert Plant, penulis lirik lagu itu, menggambarkan bahwa surga itu bisa dibeli hanya dengan mengucapkan sepatah kata.  Itulah budaya pop, budaya serba instan, yang mulai menjalar dari Eropa ke Amerika kemudian ke seluruh dunia.  Di Indonesia, khususnya DKI Jakarta, lain lagi.  Tidak perlu membeli, orang bisa masuk surga ditentukan lewat mencoblos siapa di pilkada.

Inklusif atau Eksklusif?

Dengan terpilihnya Donald Trump, Amerika sedang mengalami kemunduran dalam proses penciptaan wawasan kebangsaan (nation building).  Demikian juga kemunduran persatuan di Eropa dengan menangnya Brexit atas Uni Eropa.  Apa yang sedang terjadi dengan bangsa Indonesia?  Proses kebangsaan yang inklusif merangkul semua?  Atau proses yang eksklusif, mencari-cari perbedaan dan menebarkan kebencian?

Menciptakan Perbedaan.

Bukannya menciptakan perdamaian, untuk bisa menang pilkada dilakukan dengan segala cara termasuk SARA.  Jadinya persaingan pilkada diwarnai oleh penciptaan dikotomi.  Mayoritas vs minoritas, muslim vs kafir, orang kaya vs rakyat biasa, pengusaha raksasa vs pengusaha UMKM, komunisme vs nasionalisme, media mainstream tidak bisa dipercaya vs media kita bisa dipercaya.  Arahnya adalah mencari-cari perbedaan yang secara tidak sadar sudah mengarah menjadi kebencian.  Benci stasiun tv tertentu, benci produk tertentu, benci musisi/ artis tertentu, benci pemuka agama tertentu, benci aliran tertentu, benci kelompok/ organisasi tertentu, benci orang tertentu, dst.  Semuanya berujung pada konflik horisontal, saling merasa paling benar, lalu saling menggugat.

Apa  Yang Mereka Inginkan?

Mereka ingin bangsa Indonesia pecah dengan selalu mengasah mempertajam perbedaan dan memperdalam kebencian.  Yang ditakuti bangsa lain dari bangsa Indonesia bukan jumlah rakyatnya, bukan kuat persenjataannya, tapi persatuannya!  Iya hanya itu.  Persatuan Indonesia.  Jadi proses inklusif (merangkul semua) inilah yang harus terus diupayakan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bhinneka tapi tetap satu.  

Mengutip filsuf Perancis Ernest Renan, "satu bangsa adalah sekumpulan orang yang melakukan pekerjaan besar bersama".  Bukannya pekerjaan kecil yang tiada artinya seperti saya sebutkan diatas.  Apa pekerjaan besar kita?  Salah satunya adalah mandiri dalam mengelola kekayaan sumber daya alam kita.

Persatuan kita sangat ditakuti bangsa lain yang ingin mengeruk kekayaan ibu pertiwi, yang belum puas menghabisi sumber daya alam yang kita miliki.  Minyak.  Hutan.  Tambang.  Laut.  Ayo sadarlah.  Mari bersatu rapatkan barisan.  Hancurkan perbedaan.  Hapus kebencian.  Ciptakan perdamaian.  Ayo kita bisa!

Jakarta, 25 Februari 2017

Mukti Wibawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun