Lubang yang ditinggalkan saat naik menyerang menjadi incaran serangan balik lawan. Ruang-ruang di pertahanan mampu dieksploitasi. Gol Felipe Anderson kala Inter tumbang di Olimpico contohnya.
Para rival seolah telah mafhum kelemahan taktik Inter. Belum lagi bila bicara kesalahan individu, penurunan performa dan disorganisasi permainan.
Okelah, penurunan performa beberapa pilar semisal Samir Handanovic, Stefan de Vrij dan Alessandro Bastoni menjadi sorotan. Namun sisi taktikal tetap memegang peranan penting dalam pudarnya pesona Inzaghiball di awal musim ini.
Mujur, sang pelatih insaf sebelum terlambat.
Perhelatan Liga Champion matchday ketiga melawan raksasa Spanyol, Barcelona, menjadi titik balik. Pada laga itu, Inter menjadi Inter dalam makna sesungguhnya.
Sang Ular tak lagi terburu-buru bermain agresif. Mereka memilih reaktif, disiplin menjaga pertahanan, lalu menyerang ruang kosong yang ditinggalkan.Â
Hasil positif di kandang dilanjutkan ke partai di tandang ke Katalunya. Pertandingan itu sendiri dinobatkan menjadi partai terbaik Liga Champion pekan itu. Versi penonton layar kaca tentunya.
Perubahan gaya ini berefek pada hasil pertandingan yang membaik sepanjang Oktober. Sejak kalah melawan Roma, Inter praktis hanya sekali kehilangan poin penuh di semua ajang, yakni kala bermain imbang 3-3 di Camp Nou.
Nicolo Barella seolah terlahir kembali. Lima gol berhasil dikumpulkan, dengan proses yang hampir mirip. Umpan jauh ke belakang pertahanan lawan, penyerang drop ke tengah, dan bum! Tiba-tiba Barella muncul di kotak pinalti menyambut umpan.
Peran dadakan Hakan Calhanoglu sebagai imbas dari cederanya Marcelo Brozovic juga menunjukkan hasil apik. Calhanoglu mampu bermain apik sebagai regista. Umpan, pemosisian serta sisi defensifnya meningkat.
Baiklah, jangan lupakan pula keputusan Inzaghi untuk menuruti kehendak supporter agar mengganti Handanovic dengan Andre Onana di bawah mistar.