"Semoga penemu mi instan masuk surga"
Demikian doa seorang teman kala bersiap menikmati semangkuk mi kari ayam yang dipadu dengan telur, sayur dan irisan cabe rawit. Disajikan kala dingin menyapa, siapa yang sanggup menolak?
Doa itu bak ungkapan wujud syukur akan kenikmatan tiada tara nan mampu dipersembahkan oleh  sebungkus mi murah meriah. Tak heran ia didaulat sebagai penolong para anak kosan, teman begadang penikmat bola, dan jangan lupa bahwa beberapa lalu rencana kenaikan harganya menimbulkan protes dari para pembelanya. Hehe.
Murah, nikmat, dan menggoda
Itulah yang ditawarkan Simone Inzaghi kala direkrut Inter awal musim lalu. Inzaghi tak butuh skuad mahal di Lazio untuk membuktikan talentanya dalam meracik permainan cantik yang indah untuk dinikmati. Umpan-umpan pendek nan cepat, pergerakan dinamis antar pemain serta jaminan gol di setiap partai adalah trademarknya Inzaghi.
Inzaghi diplot untuk menggantikan Antonio Conte yang punya gaya bermain berbanding terbalik.
Internya Conte adalah tim yang disiplin bertahan, lalu menyerang balik melalui umpan satu-dua, mengandalkan kecepatan sayap-sayap dan penyerangnya dalam memanfaatkan ruang yang ditinggal lawan.
Bagi sebagian orang, ini adalah taktik dinosaurus. Usang, jadul dan pengecut. Peter Crouch sempat berseloroh tentang taktik Conte yang sekarang dibawanya ke Tottenham Hotspur, "Saya memainkan sepakbola seperti itu di Stoke City."
Sebuah sindiran akan sepakbola bertahan yang umumnya dipakai oleh tim-tim papan bawah. Toh, dengan taktik itu pula Conte sukses membawa Inter memutus rantai paceklik gelar 11 tahun serta meloloskan Spurs ke Liga Champion.
Tak hanya pelatih pemberi scudetto, Inter juga ditinggal punggawa andalan pada diri Romelu Lukaku dan Achraff Hakimi.
Namun Inzaghi punya caranya sendiri