Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepakbola Drama ala Levante

21 Februari 2021   02:15 Diperbarui: 21 Februari 2021   02:33 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dominasi. Aksi kiper. Keajaiban.

Tiga kata ini dirasa tepat menggambarkan kekalahan pemuncak klasemen LaLiga, Atletico Madrid dari tamunya, Levante tadi malam (20/2). Skor 0-2 untuk tim tamu memastikan kekalahan perdana Atleti di stadion Wanda Metropolitano sejak gol Lionel Messi pada Desember 2019.

Uniknya, tiga hari ke belakang Levante juga berhasil menahan Luis Suarez dan kawan-kawan 1-1 di kandangnya. Tajuknya adalah partai tunda pekan ke-2 LaLiga.

Menonton laga ini tadi malam seolah menonton drama bertajuk Cinderella. Penderitaan, aksi heroik, keajaiban dan akhir manis lengkap tersaji.

Memang, Levante sebenarnya tak bisa dipandang remeh. Paco Lopez dan pasukannya bukanlah tim papan bawah lagi. Sekarang mereka ada di sepuluh besar klasemen sementara. Peringkat delapan yang berarti mengangkangi tim-tim tradisional semisal Athletic Bilbao (peringkat 11) dan Valencia (12).

Ditambah lagi keberhasilan mereka menaklukkan Real Madrdi 2-1 Januari lalu seolah menjustifikasi kelayakan posisi sekarang. Namun ini adalah kandang Atleti, pemuncak klasemen sementara. Sebelum pertandingan, poin kedua tim terpaut 27 poin di klasemen.

Maka yang terjadi kemudian adalah keindahan. Tentu bukan keelokan dalam perpektif pecinta sepakbola tiki-taka ala Barcelona. Bukan pula dalam sudut pandang pengusung gegenpressing milik Liverpool. Tersaji di lapangan, keindahan kemenangan ala drama, persembahan sepakbola bertahan.

Dominasi Atleti dan aksi Cardenas

Tuan rumah mendominasi sejak menit awal. Lihat saja statistik pertandingan. Atleti unggul di semua aspek aksi menyerang. Penguasaan bola menjadi milik asuhan Diego Simeone, 55%-45%. Sepanjang pertandingan, Atleti menembak 28 kali, dengan 11 diantaranya adalah tembakan tepat sasaran. Sepak pojok pun unggul 12 kali berbanding 2, dan punya akurasi umpan mencapai 86%.

Tim tamu hanya unggul di angka pelanggaran (15:10) dan clearences (32 kali berbanding 10). Sangat wajar bagi tim yang mengambil inisiatif bertahan dan sesekali melakukan serangan balik.

Levante punya total tembakan sebanyak enam kali, dengan dua diantaranya tepat sasaran dan kedunya berbuah gol! Masing-masing satu di setiap babak.

Bagaimana nasib 11 tembakan Atleti? 1 menerpa tiang gawang, dan sisanya mentah di tangan kiper muda, Daniel Cardenas. Kiper binaan asli Levante ini sukses meredam berbagai jurus tembakan Suarez dan kawan-kawan.

Pada satu momen, tendangan voli Thomas Lemar dari luar kotak pinalti meluncur deras ke sudut kanan bawah gawang Cardenas. Marcos Llorente yang berdiri di sebelah Lemar sudah menangkat tangan, bersiap merayakan, yakin tembakan itu akan masuk.

Oh, tahu-tahu tangan kanan Cardenas melintang di depan gawang. Alih-alih selebrasi, Llorente terpaksa mengarahkan tangannya memegang kepala, gestur kecewa dan tak percaya.

Berulang kali komentator pertandingan berucap "what a save, beautiful". Aksi ciamik Cardenas sangat layak diganjar man of the match di akhir pertandingan. Selidik punya selidik, aslinya Cardenas adalah kiper kedua, deputi dari Aitor Fernandez. Aksi di Wanda Metropolitano malam tadi adalah kali kedua kalinya Cardenas turun sebagai starter sejak dipromosikan ke tim utama Januari tahun ini.  Sangat Cinderella kan?

Spektakuler dan kontroversial

Dibombardir sepanjang laga, diselamatkan berulang kali oleh kiper muda, hingga akhirnya mencetak gol kedua dengan fantastis. Jorge de Frutos yang masuk menggantikan Ruben Rochina pada menit 62 sukses menceploskan bola dari setengah lapangan pada menit 95!

Memang, gol tersebut terjadi ke gawang kosong yang ditinggal Jan Oblak maju menyambut sepak pojok. Namun menembak dengan akurat pada jarak 50-60 meter dari sisi tepi lapangan tentu bukan perkara mudah. Kalau tidak percaya, coba saja lakukan sendiri wahai para coach online!

Kontroversi? Ah, tentu saja ada. Setidaknya dua kali keputusan wasit Mario Merelo Lopez membuat pemain Atleti meradang. Pertama, saat Llorente mengkalim dirinya dilanggar di depan kotak pinalti. Wasit mengisyaratkan pertandingan jalan terus, sebelum akhirnya memberikan kartu kuning untuk pelanggaran Lemar dan protes kapten Koke.

Terang saja Koke geleng-geleng kepala menyaksikan keputusan wasit. Tayangan ulang jelas menunjukkan Llorente memang dilanggar. Dimana VAR? entah apa yang dibisikkan wasit VAR, namun wasit Lopez memilih tidak mereviu perangkat elektronik tersebut.

Lopez dan VAR lagi-lagi menjadi sorotan saat proses gol kedua Levante. Oblak berulang kali protes, mengatakan dirinya didorong saat sepak pojok terjadi. Wasit bergeming. Gol disahkan, peluit panjang dikumandangkan. Bagaimana bila ternyata VAR direviu dan wasit memberikan pinalti? Wah, akan sangat drama bila ternyata kemudian sepakan itu gagal lalu berujung serangan balik dan gol. Liar!

**

Kredit tersendiri tentu layak diberikan kepada Levante. Bukan perkara mudah bertandang ke kandang Atleti. Unggul lebih dahulu, waktu masih Panjang, lawan adalah pemuncak klasemen plus punya striker top skor sementara, pilihan apa yang paling logis selain bertahan? Lain halnya bila yang datang adalah Barca, Madrid, atau mungkin Bayern Munchen. Mungkin tim-tim ini akan melayani adu otot dengan Atleti, coba cetak gol sebanyak-banyaknya.

Aksi ala Levante ini tentu bukan yang pertama. Drama-drama serupa dan bahkan lebih heboh lagi telah banyak menjadi catatan sejarah olahraga sepak kulit bundar ini. Kejutan-kejutan seperti inilah yang membuat sepakbola selalu menarik untuk ditonton. Tak ada jaminan kepastian kemenangan hingga peluti panjang dibunyikan.

Sebagai penonton, saya cenderung lebih menikmati jenis pertandingan drama seperti ini. Satu tim yang menderita sepanjang pertandingan, dikawal aksi pertahanan dan kiper nan hebat, lalu akhirnya menang di ujung laga lewat peluang minimalis.

Atau justru tim yang dominan tadi berhasil membalikkan keadaan menjadi unggul lewat dua gol di menit 90 dan 93 misalnya. Wah, terasa sekali adrenalinnya. Terlebih bila yang melakukan itu adalah tim favorit. Terbawa-bawa senangnya sampai bangun besok. Yah begitu juga kalau posisi nya terbalik kena epick comeback, kekinya juga terbawa sampai besok. Impas kan?

Curup,
21.02.21
Muksal Mina Putra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun