Alkisah pada zaman dahulu di dataran Cina, ada sebuah perguruan Kung Fu yang terkenal. Di dalamnya tinggal ratusan pemuda yang belajar di sana. Selain sebagai tempat berlatih bela diri, tempat ini juga berperan sebagai sebuah kuil. Tempat ibadah para penganut Budha. Maka namanya lebih sering disebut sebagai kuil daripada perguruan.
Para penghuni kuil ini sangat akrab dengan masyarakat desa sekitar. Tak jarang para murid dan biksu-biksunya ikut turun ke sawah ketika musim menanam dan panen, membantu masyarakat. Atau turut bergotong royong memperbaiki rumah warga yang rusak.
Karena isinya adalah para jago Kung Fu, maka jadilah kuil ini berperan sebagai juru keamanan pula. Bila ada gangguan dari luar, merekalah yang turun pertama kali. Fungsi-fungsi ini membuat kuil dan para penghuninya sangat disayangi masyarakat.
Sayangnya, kisah ini fiktif semata. Pembaca yang pernah menikmati komik Kung Fu Boy karya Takashi Maekawa yang terbit pada medio 1990an, pasti mafhum bahwa kuil yang dimaksud bernama Kuil Dairin.
Maaf, saya bukan sedang nge-prank. Tahu-tahu nulis fiktif. Sedang tidak mood.
Saya cuma sedang berandai-andai, adakah lembaga pendidikan, baik sekolah ataupun perguruan tinggi sekarang yang memiliki fungsi seperti Kuil Dairin? Kalau di daerah saya belum ada. Atau saya yang belum tahu ya? Mungkin.
Pendidikan Akar Peradaban
Paulo Freire tegas menolak sebuah sistem pendidikan model bank. Membelenggu. Membatasi. Baginya, pendidikan itu membebaskan. Memerdekakan. Di mana ada lembaga pendidikan, di situlah seharusnya menjadi pusat peradaban. Membebaskan dan memajukan masyarakat sekitarnya.
Bila kita membaca sejarah peradaban masa lalu, jamak ditemui sebuah kesamaan yang menjadi benang merah. Peradaban yang maju, pastilah memiliki pusat pendidikan di dalamnya. Dari situlah para cendekiawan mengajar siapapun yang ingin datang belajar, terutama rakyat jelata. Mereka meneliti, lalu menebar manfaat dari hasil penelitiannya tersebut.
Baghdad, Andalusia, Mughal, Cina, Italia, semua pernah menjadi sentral perubahan. Kegemilangan-kegemilangan peradaban pada masa itu bermula dari para cendekiawan-cendekiawan yang merakyat. Mungkin memang pada masa klasik, pendidikan adalah sebenar tempat untuk melahirkan perubahan.
Bagaimana dengan sekarang? Konsep perpaduan lembaga pendidikan dengan masyarakat sebenarnya telah diatur oleh pemerintah. Pendidikan tinggi misalnya. Ada konsep Tri Dharma yang harus dilakukan oleh dosen. Mengajar, meneliti, dan mengabdi.
Ketiga Dharma ini tentu mestinya bermuara pada satu pintu : kebermanfaatan pada masyarakat. Masyarakat mana? Yang dekat dulu tentunya! Namun terkadang, konsep ini diterjemahkan secara parsial. Mengajar dan meneliti itu urusan "kekampusan". Pengabdian barulah menjadi jatah "kemasyarakatan"
Mengajar dimaknai dengan transfer ilmu kepada mahasiswa semata. Tak pentinglah semua ilmu itu dikuasai dan mengembangkan mahasiswa atau tidak. Yang penting ada bukti mengajar. Dapat dilaporkan di LBKD!
Meneliti ditujukan untuk mengumpulkan angka kredit semata, atau hanya dilakukan bila ada dapat hibah penelitian. Setelah dipublikasikan dan mendapat tambahan angka kredit, usailah sudah. Yang mau baca silakan cari sendiri.
Itupun bagi yang melek jurnal. Jujur saja, masyarakat non akademik lebih akrab dengan koran, televisi, dan media sosial. Jurnal? apa itu?
Ada baiknya hasil penelitian yang telah dipublikasikan didesiminasi, disebarluarkan dengan mengemasnya kembali agar lebih 'merakyat', gampang dikunyah masyarakat, terutama yang dekat-dekat. Dengan begitu, masyarakat akan ikut merasakan manfaat.
Tinggallah Dharma pengabdian yang menanggung beban sebagai satu-satunya jalan menyatu kepada masyarakat. Dilakukan berbentuk ceramah di mimbar masjid. Atau program-program jangka pendek yang tak terjamin sustainabiliti nya. Lalu apa bedanya dengan KKN yang dilakukan mahasiswa?
Idealnya, hadirnya sebuah lembaga pendidikan menjadi sebuah mata air yang memuaskan dahaga masyarakat akan sebuah perubahan. Tak usah buru-buru ingin mengubah dunia, selesaikan dulu yang dekat-dekat.
Sulit sih. Mungkin karena sekarang lembaga pendidikan lebih pada sebuah entintas bisnis, mata pencaharian dan tempat berkumpulnya orang-orang yang berprofesi pengajar. Pendidik? Entahlah.
Rahmah el Yunusiah, mendirikan sekolah perempuan di Bukittinggi, mengubah perspektif masyarakat terhadap peran kaum perempuan.
Hasyim Azhari, membangun pesantren di Tebu Ireng, kawasan perkebunan tebu yang identik dengan hal-hal maksiat semasa itu.
Ketika ditanya kenapa justru membuat pesantren di sarang kegelapan, bukannya di tempat lain yang lebih kondusif, Kyai Hasyim menjawab, bukankah guna pesantren itu mengubah masyarakat menjadi lebih baik? Dimana tempat yang lebih tepat selain sarang ketidakbaikan?
Ahmad Dahlan, membuat sekolah untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan kebodohan beragama. Mengajar pengamalan surat al maun lebih utama daripada menghafal beratus-ratus ayat kitab suci.
Lembaga-lembaga pendidikan sekarang dikelilingi tembok tinggi, diteduhi kemewahan ilmu pengetahuan, berputar di dalam, dan melompat ke langit. Melangkahi tanah kering di tepi tembok. Asing!
Mungkin kita terbawa-bawa pola penjajah, yang membuka akses pendidikan hanya pada golongan tertentu saja. Ya, sekarang tidak lagi. Semua bisa sekolah. Semua bisa kuliah. Tinggal menyesuaikan isi dompet, cocok dengan grade berapa.Â
Namun manfaat yang diberi, masih berasa diskriminasi!
Rindu Kuil Dairin!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI