Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anak Sering Berkhayal dan Banyak Tanya, Orangtua Harus Bagaimana?

9 Juli 2020   16:08 Diperbarui: 10 Juli 2020   16:00 1329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi keingintahuan anak (Sumber: pixabay.com)

"Ada pertanyaan?"

Siing...

Cuma ada suara jangkrik yang menyambut tanya itu.

kriik, kriik, kriik.

Pada tak dengarkah?

Alhasil pertemuan pun disudahi dengan mengucapkan salam.

Ajaib, semua serentak menjawab salam. Tiba-tiba bisa bersuara. hahaha...

Situasi diatas akrab saya temukan di beberapa pertemuan pembelajaran. Diamnya peserta didik ketika ditanya dapat berarti 3 hal: (1) sudah mengerti, (2) belum mengerti namun takut bertanya, (3) tidak tahu apa yang hendak ditanya. Khusus kasus yang terakhir jangan-jangan dari mulai duduk sudah tidak tahu mau ngapain?

Usut punya usut, kawan-kawan yang berprofesi serupa, baik guru ataupun dosen, ternyata juga kerap bertemu hal yang sama. Jadi susah juga untuk mengukur pencapaian pembelajaran kalau begini. Pas diuji ternyata lebih separuh kelas tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan! Waduh..!

Terheranlah kita. Terbetik tanya, benarkah mereka belajar karena benar-benar ingin tahu? Atau semata pemenuhan kewajiban? Kenapa ketika ujian semua jadi mendadak rajin. Setelah keluar nilai, lupalah semua.

Bolehlah kita tarik jauh kembali ke belakang, menelisik asal mula kenapa anak yang masa kecilnya sangat cerewet, tanya ini dan tanya itu, pembelajar alami, justru jadi pengejar nilai seiring usia belajarnya. Jangan-jangan kita orangtua yang punya andil?

Fitrah Belajar Itu...

"Anak saya cerewet sekali, banyak tanya"

Ucapan semacam ini seringkali keluar dari mulut orangtua yang sedang punya anak kecil. Kadang disampaikan dengan nada bangga, senang bahwa anaknya punya rasa ingin tahu yang besar. Tak jarang pula diungkapkan dengan nada mengeluh. Seolah-olah banyak tanya adalah sebuah gangguan.

Anak adalah sosok pembelajar alami. Tak perlu disuruh-suruh belajar pun mereka akan belajar sendiri. Lihat saja sedari bayi. Tahu-tahu sudah berguling. Tahu-tahu sudah merangkak sendiri, belajar berdiri sendiri, berjalan sendiri. Tanpa perintah!

Apa yang menakjubkan dari proses belajar anak? Curiosity (Keingintahuan) dan imajinasi. Keduanya telah terinstal dalam diri anak, terbungkus rapi dalam anugerah Tuhan berupa fitrah belajar. Terinstal sejak dari dalam kandungan, fitrah inilah yang mendorong anak untuk belajar dengan kemauan sendiri. Berproses sendiri sedari dini.

Ilustrasi anak di sekolah (Sumber foto: pixabay.com)
Ilustrasi anak di sekolah (Sumber foto: pixabay.com)
Bila kemudian anak jadi tidak suka belajar, maka berarti ada fitrah yang tidak berkembang. Rasa ingin tahu yang besar dan imajinasi yang menakjubkan pada anak 0-6 tahun adalah senjata besar mengembangkan fitrah belajarnya.

Hanya butuh peran orangtua untuk menyuburkannya, agar gairah belajar itu terus terjaga sepanjang hidupnya. Menggiringnya menemukan peran pemberi manfaat bagi umat. Agar belajarnya tak terhenti pada ruang-ruang kelas, rapor, dan ijazah semata.

Curiosity
Kegigihan belajar ini menunjukkan bahwa sejatinya belajar itu adalah fitrah yang sudah ada dalam diri anak. Seiring perkembangannya, ia pun akan selalu menemukan jalan untuk belajar, menuntaskan rasa ingin tahu yang membuncah dalam pikirannya. Salah satu caranya ya itu, banyak tanya.

Banyak bertanya, menurut Harry Santosa, justru menunjukkan bahwa fitrah belajar anak sedang berkembang. Ketika bertanya itulah golden moment. 

Saat yang tepat untuk mengajak anak mengeksplorasi keingintahuannya, "Kenapa ada siang, ada malam? Dari mana datangnya adik bayi? Kenapa kita harus shalat?" Banyaaak...

ilustrasi keingintahuan anak (Sumber: pixabay.com)
ilustrasi keingintahuan anak (Sumber: pixabay.com)
Terkadang tanpa sadar kita justru menganggap itu sebagai gangguan, lalu menghentikannya untuk bertanya. Bagaimana ternyata setelah itu anak malah berhenti bertanya? Kita mematikan fitrah belajarnya, justru ketika sedang kembang-kembangnya.

Tak heran bila kemudian di masa belajar selanjutnya anak justru kehilangan gairah untuk mencari tahu. Akhirnya, anak menganggap belajar hanyalah dianggap sebagai sebuah aktivitas rutin semata. Dilakukan untuk mendapat nilai yang baik. Kepuasan tak lagi diukur pada pencapaian pengetahuan, namun hanya terbatas ukiran nilai diatas kertas semata.

Bukankah dasar dari ilmu adalah bertanya? Keingintahuan, penasaran, curiosity.

Imajinasi
Albert Einstein, lazim disebut sebagai simbol manusia jenius, mengatakan bahwa yang paling penting dari semua pengetahuan adalah imajinasi. 

Imajinasi mendorong manusia untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa diraih, meski awalnya tampak sebagai sebuah kemustahilan.

Masa sekarang, orang akan mengernyit heran jika ada manusia yang mengaku belum pernah naik pesawat. Dulu, Wright bersaudara justru ditertawakan saat membuat percobaan agar manusia bisa terbang seperti burung.

Siapa yang dapat membayangkan manusia dapat berkomunikasi dengan bertatap muka langsung, pada masa komunikasi jarak jauh hanya bisa melalui telefon dan surat. 

Sekarang, orang yang terpisah antar benua bisa ngobrol bertatap muka. Tak perlu lagi menunggu pak pos datang mengantar surat yang dikirim sebulan lalu.

Poinnya adalah, imajinasi menciptakan kreativitas. Kreativitas menghasilkan kary dan dari karya-karya tersebut menjadi manfaat bagi umat manusia. Membuat sang pembuatnya menjadi abadi dalam karyanya.

Anak bermain (Sumber foto: pixabay.com)
Anak bermain (Sumber foto: pixabay.com)
Oh, betapa anak adalah rajanya imajinasi. Lihatlah ketika ia bermain. Keranjang baju menjadi kapal, bakul nasi menjadi helm perang, sendok sayur menjelma sebagai pedang. Hidup!

Tanyalah cita-citanya, seabrek! Hari ini ingin menjadi asrtonot selepas nonton film luar angkasa. Besok jadi pahlawan super, lusa jadi tentara. 

Anak sulung kami yang perempuan ingin jadi koki dan salon (maksudnya penata rambut mungkin), karena sekarang sedang asyik-asyiknya main masak-masak dan salon-salon.

Si abang, anak kedua, ingin jadi mobil pemadam kebakaran! Bukan, bukan supirnya, tapi mobilnya! Maklum, imajinasi anak tiga tahun, hahaha.

Miris bila kemudian, perlahan, imajinasi-imajinasi itu meluntur. Dipetieskan dengan frasa:

"Sudah besar! Jangan banyak berkhayal!"

Jadilah mereka anak-anak yang kering imajinasi. Miskin kreativitas. Lantaran lingkungan belajarnya, entah di rumah atau di sekolah, terlalu banyak mengatur hingga hilanglah kebebasan berkhayal itu. Terlalu berhasrat untuk menyeragamkan, hingga terlupa bahwa keragaman lah yang mewarnai pelangi.

Nanti yang ada hanyalah anak-anak penurut karena takut, atau anak pembangkang karena bosan. Yang dihasilkan kemudian anak-anak yang enggan menghancurkan kebekuan imajinasi. Cari aman. Pokoknya nilai keluar! Yang penting lulus!

**

sumber foto : pixabay.com
sumber foto : pixabay.com
Bersyukurlah punya anak yang banyak bertanya dan banyak bermain. Itu berarti menunjukkan bahwa ia anak yang sehat, anak yang sedang berkembang fitrah belajarnya. Tinggal kitalah, para orangtua, memantaskan diri untuk mendampingi perkembangannya.

Tak ada yang salah dalam pemberian Tuhan.

Selalu sempurna. Manusia lah yang merusaknya.

Termasuk fitrah belajar.

Curup,
09.07.2020
Muksal Mina Putra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun