Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Surpetisi, Pegang Kendali Diri Sendiri

2 Juli 2020   23:24 Diperbarui: 2 Juli 2020   23:28 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Uni siap?"

"Siap!"

"Abang?"

"Ciap!"

"Okee. Satu, dua, tiga, mulai!"

Wuuz, sepasang kakak adik lima dan tiga tahun itu melesat. Judulnya lomba lari. Arenanya halaman masjid. Saya bertindak selaku pemberi aba-aba. Ibu dan si bungsu pemandu sorak.

"Yeee, Uni menaaang!" Si sulung, tentu saja, finish lebih dahulu.

"Yeee, Abang kalaah!" Bujang tiga tahun itu berteriak tak kalah seru. Bikin kami semua tertawa. Kalah kok senang? hahaha.

Maka kedua-duanya mendapat hadiah, masing-masing pisang goreng satu biji. Itulah mereka, peserta lomba tadi, duduk berdampingan sembari menikmati hadiah. Bercerita dengan serunya, memperagakan kembali bagaimana tadi cara berlarinya. Seolah-olah tadi kami tidak lihat.

Ah, kiddos. Menang kalah tak bermakna apapun bagi mereka. Yang penting seru!

Sebentar lagi mereka sekolah. Mudah-mudahan nanti mereka tetap bisa seru menikmati pencapaian diri. Agar kebal diterpa badai, berbalut kulutur pendidikan yang dipelihara : kompetisi.

Bersaing Dengan Diri

Saya selalu kagum pada anak-anak. Pada kepolosan dan kemurnian mereka. Lihatlah, pada awal-awal bersekolah di PAUD/TK, semangatnya berdentum-dentum. Bangun pagi, penuh semangat. Setiap hari ingin ke sekolah. Ternyata sekolah itu seru! Banyak main!

Beranjak ke sekolah dasar, kelas-kelas dasar diisi oleh wajah-wajah ceria. Matanya berbinar-binar setiap ke sekolah. Namun, semakin lama kok semakin tak asyik ya. Harus bisa ini, harus bisa itu. Belajar ini, belajar itu.

Tiba-tiba diujung semester, bertemulah pada satu pekan yang auranya berbeda dari hari-hari biasanya. Ujian. Apa pula ini?

Ilustrasi anak di sekolah. Sumber foto : Pixabay.com
Ilustrasi anak di sekolah. Sumber foto : Pixabay.com
Sekolah jadi tak asyik. Semua pakai dinilai. Diuji. Teman-teman jadi berlomba ingin jadi juara satu. Ah, kok tak ada yang mau jadi juara satu lomba datang paling rajin? atau menolong teman? atau bersikap baik?

Belum lagi orang tua yang sudah siap menunggu hasil belajar anaknya, sambil bercakap-cakap. Haduh, anaknya rangking berapa? Dapat nilai berapa? Hancur mina.

Pelan-pelan, kita dibesarkan dengan budaya kompetisi. Persaingan untuk menjadi yang terbaik. Berebut dengan orang lain, mengejar standar yang juga ditetapkan oleh orang lain. Untuk apa?

Edward de Bono mengenalkan satu konsep alternatif dari kompetisi. Yakni Surpetisi.

Berbanding terbalik dengan kompetisi yang menonjolkan persaingan dengan orang lain, surpetisi justru mengajak untuk mengalahkan musuh terbesar umat manusia : diri sendiri.

Standar ditetapkan oleh diri sendiri. Lalu berusaha melampauinya, membuat kembali standar baru. Menguji batas kemampuan diri sendiri. Pada akhirnya menjadikan diri lebih baik, tanpa perlu dikendalikan oleh capaian orang lain.

Dikendalikan? Ya. Terkadang, kompetisi membuat diri tak lagi merdeka. Tanpa sadar, prilaku kita dikendalikan oleh capaian pesaing. Waduh, si A juara 1. Nilai matematikanya lebih tinggi. Harus dikejar!

Jadilah ia mengejar pencapaian matematika. Mengabaikan pelajaran bahasa yang justru sebenarnya jadi keunggulannya. Semakin sang pesaing maju, semakin keras pula usaha si anak untuk mengejar. Hal yang seperti ini terjadi di dunia pendidikan? Aduh...

Fakta sebenar, persaingan justru terkadang membuat pening. Godaan-godaan untuk melakukan apa saja pun datang. Yang penting menang! Bila sudah begitu, kemana hakekat pendidikan yang bertujuan memerdekakan manusia?

Tentukan Sendiri Standarnya

Bagaimana mendorong terjadinya supertisi? Saya pernah membaca bahwa di Finlandia, sebelum dimulainya persekolahan, ada kegiatan diskusi yang diinisiasi pihak sekolah. Yang diajak bicara adalah guru, calon murid, orangtua dan psikolog.

Keempatnya mendiskusikan apa yang ingin dipelajari oleh sang calon murid itu nanti dalam semester yang akan datang. Lalu dibahas pula soal target capaian si anak. Sebatas mana limit yang ingin dan bisa ia gapai. Jadilah anak, dibantu orangtua dan psikolog, menetapkan sendiri standar capaiannya. Itulah yang akan ia kejar.

Sumber : pixabay.com
Sumber : pixabay.com
Teman-teman kelasnya pun melalui prosedur yang sama, membuat target capaian pribadi. Alhasil, tak ada yang namanya kompetisi antar teman. Yang ada adalah persaingan dengan diri sendiri. Surpetisi.

Kenapa surpetisi diperlukan? Setiap anak punya keunikan masing-masing. Minat, gaya belajar, kecepatan belajar, bakat, karakter, semuanya berbeda bagi setiap anak. Ciri khas itulah yang menjadi kekuatannya masing-masing. Maka keunikan itu yang perlu dikembangkan. Bagaimana mungkin sesuatu yang unik diadu dengan keunikan lainnya?

Bagaimana mungkin burung unta dilatih, diajari dan dilombakan untuk kompetisi terbang, bersaing dengan burung elang misalnya? Padahal keduanya keunikan masing-masing. Meskipun sama-sama burung!

Surpetisi yang menonjolkan potensi diri sendiri, pada akhirnya juga akan membawa diri pada posisi keberhasilan. Seperti satu video lama tentang presentasi Steve Job yang kemarin saya lihat di Twitter.

Job menginginkan Apple untuk mengenalkan diri dengan keunikan sendiri, memasarkan diri dengan kelebihan yang ditawarkan. Bukan dengan memburukkan brand lain yang menjadi pesaing.

Alhasil, Apple kemudian sukses menjadi merk eletronik yang membuat orang menanti produk terbarunya. Karena mereka punya ciri khas. Memberi identitas pada si pembeli produk.

***

Pernah ada satu lomba mewarnai antar anak usia TK. Kebetulan saya menjadi panitia. Lazimnya lomba mewarnai, maka orang tua dan guru dilarang berdiri dekat-dekat. Susah-susah kami meminta mereka untuk meninggalkan anaknya berusaha sendiri. Sampai sedikit dongkol : niat bener mau anaknya juara!

Selepas pengumuman pemenang dan pembagian hadiah, tak sengaja saya mendengar obrolan seorang anak dengan orangtuanya. Ia bertanya, kenapa ia tidak dapat piala? Kenapa ia tidak dipanggil ke atas panggung?

Saya tercekat. Anak-anak tak paham konsep menang-kalah. Mereka belum mengerti bahwa dalam lomba ada yang menang, ada yang kalah. Dan memang pada usia itu mereka tak wajib mengerti!

Kamilah yang salah, panitia penyelenggara. Harusnya kami sediakan hadiah untuk semua peserta. Tak usah pakai juara-juaraan.

Satu pesan whatsapp masuk di hp saya. Dari salah satu guru TK.

"Mas, lain kali sediakan hadiah untuk semuanya. Yang murah saja. Anak-anaknya sedih tak dapat hadiah. Temannya dapat". Saya menyusut.

Anak-anak adalah manusia merdeka. Bagi mereka, apapun adalah soal keseruan dan keceriaan. Tak ada sikut-sikutan, tak ada lomba-lombaan. Mereka murni. Andaikan kita belajar lebih banyak dari anak-anak!

Saya teringat akan karakter Mahar dalam novel Laskar Pelangi. Diceritakan bahwa Mahar sebenarnya anak yang payah dalam pelajaran sekolah. Pelajaran favoritnya cuma satu : bahasa. Jika sudah pelajaran bahasa, Mahar menjelma menjadi sastrawan. Guru dan teman-temannya terkagum-kagum dengan puisi ciptaannya. Tak ada lawan.

Selepas itu, Mahar kembali jadi anak biasa yang payah. Namun ia tak peduli. Baginya, cintanya adalah sastra. Tak juara pun tak apa. Sastra adalah segala-galanya. Ia merdeka.

Oh, saya mengandaikan anak-anak saya nantinya menjadi Mahar pula. Bebas mereka mengejar standar diri yang didasarkan pada keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan atas dasar tak ingin kalah dari orang lain.

"Abang suko kalah, Yah!"

Curup,
02.07.2020
Muksal Mina Putra

Note:
Suko = suka, senang (bahasa Curup)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun