Selepas pengumuman pemenang dan pembagian hadiah, tak sengaja saya mendengar obrolan seorang anak dengan orangtuanya. Ia bertanya, kenapa ia tidak dapat piala? Kenapa ia tidak dipanggil ke atas panggung?
Saya tercekat. Anak-anak tak paham konsep menang-kalah. Mereka belum mengerti bahwa dalam lomba ada yang menang, ada yang kalah. Dan memang pada usia itu mereka tak wajib mengerti!
Kamilah yang salah, panitia penyelenggara. Harusnya kami sediakan hadiah untuk semua peserta. Tak usah pakai juara-juaraan.
Satu pesan whatsapp masuk di hp saya. Dari salah satu guru TK.
"Mas, lain kali sediakan hadiah untuk semuanya. Yang murah saja. Anak-anaknya sedih tak dapat hadiah. Temannya dapat". Saya menyusut.
Anak-anak adalah manusia merdeka. Bagi mereka, apapun adalah soal keseruan dan keceriaan. Tak ada sikut-sikutan, tak ada lomba-lombaan. Mereka murni. Andaikan kita belajar lebih banyak dari anak-anak!
Saya teringat akan karakter Mahar dalam novel Laskar Pelangi. Diceritakan bahwa Mahar sebenarnya anak yang payah dalam pelajaran sekolah. Pelajaran favoritnya cuma satu : bahasa. Jika sudah pelajaran bahasa, Mahar menjelma menjadi sastrawan. Guru dan teman-temannya terkagum-kagum dengan puisi ciptaannya. Tak ada lawan.
Selepas itu, Mahar kembali jadi anak biasa yang payah. Namun ia tak peduli. Baginya, cintanya adalah sastra. Tak juara pun tak apa. Sastra adalah segala-galanya. Ia merdeka.
Oh, saya mengandaikan anak-anak saya nantinya menjadi Mahar pula. Bebas mereka mengejar standar diri yang didasarkan pada keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan atas dasar tak ingin kalah dari orang lain.
"Abang suko kalah, Yah!"
Curup,
02.07.2020
Muksal Mina Putra