Terkadang orangtua datang mendaftarkan anak diiringi dengan pesan :
"Bu guru, titip anak saya ya. Mohon dibimbing biar pandai. Biar jadi anak baik."
Dahi Ibu guru pun berkerut. Apakah anak ini tak pandai? Tak baik?
Seolah-olah sekolah adalah pabrik. Seolah-olah guru adalah tukang sulap. Sim salabim, jadilah anak yang pandai. Jadilah anak yang baik. Terlupa, bahwa bekal terbaik seharusnya dibawa dari rumah. Racikan kasih sayang Ibu dan ego sang Ayah.
Ada semacam miskomunikasi antara sekolah dan orangtua. Orangtua berharap anaknya pulang dari sekolah sudah dalam keadaan "jadi". Berharap memetik hasil sekolahnya di rumah. Sekolah berharap anak datang ke sekolah dalam keadaan sudah "jadi". Siap untuk diajar.
Misalnya tentang pengembangan fitrah seksualitas. Mengutip buku Fitrah Based Education, penanaman jadi diri sebagai sebagai laki-laki sejati dan perempuan sejati haruslah dilakukan oleh kedua orang tua. Pada usia 0-2 tahun, anak-anak didekatkan pada ibunya karena dalam fase menyusui.
Usia 3-6 tahun, anak lelaki dan perempuan didekatkan kepada ayah dan ibu agar memiliki keseimbangan emosional dan rasional. Sejak usia 3 tahun, anak sudah harus memastikan identitas seksualitasnya. Menginjak 7-10 tahun, anak lelaki didekatkan kepada ayah, anak perempuan didekatkan pada ibunya.
Peran seperti ini tidak dapat digantikan oleh pihak ketiga. Harus orangtua langsung yang turun tangan
Termasuk pula didalamnya penanaman adab, sejatinya bermulai dari rumah. Dikuatkan di dalam terlebih dahulu.
Seperti sudah menjadi kelaziman, kita temukan berita tentang kerusakan moral yang justru dilakukan oleh anak-anak sekolah. Para anak muda yang seharusnya menjadi kaum terdidik, kaum beradab. Namun justru biadab dalam balutan seragam berlogo Tut Wuri Handayani. Miris!