Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Covid Menampar Kita, Para Orang Tua

9 Juni 2020   11:33 Diperbarui: 9 Juni 2020   11:24 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrated by Pixabay.com

"Bu guru, kapan masuk sekolah lagi? Rindu belajar di sekolah! Belajar di rumah tidak seru!"

"Kangen sekolah, bu guru. Mama ngajarinnya marah-marah terus"

Sejak diberlakukannya kebijakan belajar dari rumah dengan skema belajar online oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, sontak keterkejutan-keterkejutan melanda tiga unsur utama dalam pendidikan; guru, siswa, dan orang tua.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat per April 2020, ada 213 pengaduan yang masuk terkait dengan pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (sumber : Kompas, 13/04/2020). Keluhan yang masuk seputar permasalahan beban tugas, kuota internet, dan ketersediaan komputer, laptop ataupun smartphone.

Survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terhadap 717 anak dari 29 provinsi menunjukkan bila 58% anak merasakan proses belajar dari rumah tidak menyenangkan. (Sumber : Kemenpppa, 11/04/2020)

Skema belajar online dikemas untuk menjaga roda pendidikan tetap berjalan di tengah pandemic COVID 19. Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap ketersediaan kuota internet, meningkat pula keluhan-keluhan yang berbeda-beda.

Keluhan bagi guru adalah adaptasi tentang metode pembelajaran online. Bagaimana cara mengantarkan siswa ke tujuan pembelajaran dengan metode yang selama ini jarang sekali disentuh?

Jujur saja, mengajar online bagi sebagian besar guru, terutama guru pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar adalah hal yang sama sekali baru. Internet bukanlah barang baru. Namun menjadikannya sebagai unsur utama sebagai media dan sumber belajar? Aih, selama ini internet cuma dipakai untuk cari tugas!

Sebagai subjek utama dalam pendidikan, keluhan siswa perlulah didengarkan pula. Pada awal kebijakan belajar dari rumah, yang muncul adalah euphoria. Yes, tidak sekolah! Perlahan keriaan itu memudar, tenggelam oleh tugas-tugas sekolah yang tanpa ampun menghajar. Itu baru satu hal.

Hal lainnya? Guru di rumah ternyata sangat garang! Skema pembelajaran jarak jauh sukses meningkatkan stress orang tua dan anak. Orang tua stress saat anak meneror dengan bertanya tentang materi yang tidak mengerti. Anak gemetar saat orang tua menumpahkan tingkat stresnya. Belajar di rumah bikin sakit kepala.

Perlahan, Covid dan kebijakan belajar dari rumah menyibak wajah sebenarnya peran keluarga (a.k.a orang tua) sebagai pendidikan informal yang selama ini dielu-elukan menjadi pendidikan pertama dan utama. Menampar dan mengguncang, membuat kita bertanya, sudah benarkah keluarga berfungsi sebagai pendidik?

Fungsi Keluarga, Samakah Dengan Fungsi Sekolah?

Sudah dipahami bersama bahwa lembaga pendidikan dipilah menjadi tiga, yakni informal (keluarga), formal (sekolah) dan non formal (kursus, pelatihan, dan lain-lain). Ketiga lembaga ini mempunya peran masing-masing. Usahlah kita bahas tentang lembaga formal dan non formal. Mari sejenak kita renungkan peran keluarga sebagai madrasatul ula

Menurut BKKBN, keluarga memiliki delapan fungsi, satu diantaranya adalah fungsi pendidikan. Fungsi ini dapat dijalankan dengan mengajarkan akhlak, ilmu dasar seperti membaca dan menulis, dan kemampuan fisik. Jamak dipahami bahwa fungsi ini dijalankan dari usia anak 0 tahun hingga 7 tahun yang notabene adalah usia emas (golden age).

Menurut Harry Santosa, keluarga (orang tua) memiliki fungsi utama dalam menumbuhkembangkan fitrah anak, dimulai dari lahir hingga kemudian akil baligh. Fungsi utama ini tidak dapat dipindahtugaskan ke sekolah, karena keluarga lah yang paling tahu tentang seorang anak. Pendidikan di keluarga bersifat eksklusif, sedangkan di sekolah bersifat inklusif.

Maka penguasaan orang tua terhadap pengetahuan parenting dan pedadogi menjadi wajib. Apa yang bisa dikembangkan dari anaknya? Apa potensi anaknya? Dengan cara apa anaknya bisa mudah belajar?

Kewajiban orang tua adalah menumbuhkan fitrah belajar anak, mendampingi  anak belajar, menunjukkan jalan termudah yang bisa ditempuh anak agar bisa menguasai pelajarannya, dan mendorong untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang ada sebagai sumber belajar. Bukan menjejalinya dengan berbagai materi. Penekanan ada pada proses, bukan hasil.

Buang jauh-jauh paham  bahwa peran orang tua dalam pendidikan anak selesai begitu anak memasuki masa sekolah. Sebagai pendidik utama, peran orang tua berjalan seterusnya. Bukankah rumah adalah sekolah, ayah adalah kepala, dan ibu adalah gurunya?

Menurut Ibu Septi Peni Wulandari, founder Intitut Ibu Profesional, orang tua sebagai pendidik bukanlah peran yang disiapkan secara serius di negeri ini. Peran itu diwariskan turun temurun dan apa adanya. Maka menjadi wajarlah ketika COVID datang, kocar kacirlah.

Ada pandangan umum, bahwa pendidikan adalah tugas sekolah. Transfer pengetahuan adalah tugas sekolah sepenuhnya. Padahal, bagaimana anak mengkontruksi pengetahuan untuk pengembangan dirinya sangat bergantung pada pola pendidikannya di rumah.

Ah, tak mungkinlah orang tua menguasai semua ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah. Iya, benar. Namun, kewajiban orang tua bukanlah menggantikan sekolah dan menyamai fungsi guru sehingga harus mampu menguasai semua bidang. Peran orang tua sebagai pendidik dan peran guru sebagai pendidik tidaklah sama.

 Orang tua bertanggung jawab mendidik anak hingga seterusnya. Memastikan anak berkembang sesuai fitrahnya. Mendampingi anak dalam pembelajaran akademiknya, sehingga berimbas baik nanti pada perkembangan fitrahnya

Maka daripada pusing mencoba mengajar seperti guru, lebih baik kita sebagai orang tua mencoba gaya sendiri dalam mendampingi anak dalam belajar.

Kita lah yang tahu hal apa yang menarik bagi anak, dengan cara apa ia akan antusias mencari tahu, kapan waktu yang tepat baginya untuk belajar.

Kan anak sendiri?

Curup, 09.06.2020

Muksal Mina Putra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun