Tulisan ini lahir dari hasil membaca buku 'Fitrah Based Education: Mengembalikan Pendidkan Sejati Selaras Fitrah, Misi dan Tujuan Hidup' terbitan Yayasan Cahaya Timur tahun 2017 karya Harry Santosa dan refleksi dari pengalaman keseharian.
***
"Sudah hafal belum? Masa juz amma tidak tembus-tembus. Bulan depan sudah mau TK loh"
 "Tadi waktu shalat kenapa malah nyanyi-nyanyi? Kalau shalat mesti tenang!"
"Hayo ngaji! Malu donk sudah mau masuk TK masih belum bisa mengaji. Gimana mau jadi hafiz. Kan mau buatkan Ibu bangunan di surga"
Familiar dengan kalimat-kalimat diatas? Setiap kita pasti pernah mendengar atau justru mengeluarkan kalimat-kalimat tersebut. Semangat beragama dalam diri orang tua sedang deras-derasnya masa ini. Sajian televisi tentang kompetisi  hafiz al-Qur'an cilik, menyemburkan semangat. Muncul keinginan kuat, cita-cita agar anak kita pun bisa seperti itu. PAUD-PAUD Islam sampai harus menolak pendaftar karena tingginya antusiasme orang tua. Ah, siapa pula yang tak bangga kala anaknya usia yang belum genap 7 tahun fasih melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an, atau salat dengan tertib, ataupun genap berpuasa ramadan satu bulan penuh. Siapapun pasti menginginkan itu.
Namun, terkadang semangat yang menggebu-gebu tersebut perlahan menjadi jebakan batman dalam pola pengasuhan anak. Orang tua ingin anak secepatnya hafal Qur'an. Secepatnya salat sempurna. Dengan kata lain, secepatnya mengamalkan syariat dengan sempurna. Sedari dini.
Mulailah tekanan dipindahkan ke anak. Harus hafal Quran sejak kecil, harus shalat dengan tertib, dsb. Semua dijejalkan sedari kecil, agar anak lebih dini terlatih menjadi sosok beriman.
Apa yang salah?
Mari kita refleksi sejenak.
Pernahkah anak kita yang akan tunduk patuh di rumah ketika disuruh shalat, namun lalai ketika sudah di luar pengawasan? Ketika ditanya, dia akan bilang "sudah"