Mohon tunggu...
Muksal Mina
Muksal Mina Mohon Tunggu... Lainnya - Candu Bola, Hasrat Pendidik

Be a teacher? Be awakener

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika (Belajar) Menjadi Ayah

16 Januari 2019   11:02 Diperbarui: 16 Januari 2019   11:04 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam lima subuh, satu pesan masuk di Whatsapp. Dari mantan pacar.

"Ayah, Azra bangun jam tiga tadi. Langsung nangis, cari ayah. Katanya Ayah hilang. Kalau sudah bangun telfon ya"

My dear. Ini baru malam pertama saya berada di luar kota. Pergi karena satu urusan kampus. Berangkat sejak subuh hari kemarin, bikin saya hanya mengucap selamat tinggal ke anak-anak via kecupan ke wajahnya yang masih pulas.

Jadilah saya tunaikan pesan itu.

"Halo? Uni?"

"Yah...! Ayah dimana?"

"Ayah di Bengkulu, Nak"

"Ayah ngapain di Bengkulu? Uni nangis tadi, Yah. Uni cari ayah"

"Ayah kerja, Sayang. Nanti Ayah pulang, ya."

"Iya, Yah. Uni ulang tahun, Yah"

"Selamat ulang tahun, Sayang"

"Iya. Uni nonton Tayo dulu ya"

"Oh iya, ok , ok.."

Jelas terdengar tawa istri menjadi backsound di ujung sana, dan mengambil alih telfon.

"Maaf ya, Yah. Tayo lebih menarik ternyata, hahaha"

****

Sejujurnya, peristiwa ini memunculkan sedikit rasa senang di hati. Kenapa? Ah, ternyata anak-anak merindukan ayahnya. Istri? Tak usah ditanya lagi laaah,hehehe.

Dulu, tak terbayangkan oleh saya bagaimana caranya menjadi ayah. Bukan, maksudnya bukan tak tahu caranya biar punya anak. Yang saya bingungkan adalah, bagaimana berperan sebagai ayah bagi anak-anak nantinya? Sebagian pengalaman masa lalu membuat kelabu kesan saya akan figur ayah. Kemana akan mencontoh? I have no idea. Jadilah kemudian belajar mandiri. Membaca, mengamati dan mencontoh.

Yang saya perhatikan, para ayah yang sibuk seolah telah memilah petak sawahnya sendiri dalam rumah tangga, yakni cari uang. Urusan anak sepenuh hatinya diserahkan kepada ibu. 

Bukannya saya mendukung pertukaran fungsi antara suami dan istri, namun bagi saya, peran ayah bukanlah hanya cari uang. Ketika seorang ayah sibuk mengejar dunia sehingga terabaikanlah perannya sebagai orang tua di rumah, maka masih layakkah memangku gelar sebagai ayah? Atau jangan-jangan cuma ngaku-ngaku Ayah?

Peran ayah yang kurang tereksplorasi ini bisa jadi karena tuntutan pekerjaan yang membuat si ayah jadi jarang di rumah. Bisa pula karena stigma di masyarakat, bahwa ngurus anak itu ya perannya ibu. Kalau para bapak ikut ngurus anak, takut istri itu.

Well, sebagai ayah dua anak usia tiga dan satu tahun, saya cuma mikir, peran dalam membesarkan anak itu harus dibagi antara saya dan istri. Tak mungkin ditengah kesibukannya mengurus rumah dan dua anak dengan segala kehebohannya, saya malah duduk santai nonton TV. Alamat buruk!

Dan tak mungkin pula, setelah seharian bekerja di luar rumah, saya malah sibuk lagi kerja sesampai di rumah. Mestinya sibuk main sama anak. Biar mereka tetap rindu. Biar mereka tidak fatherless.

Maka saya ikrarkan untuk meluangkan waktu sebesar-besarnya untuk anak-anak ketika di rumah. Urusan pekerjaan tinggallah di tempat kerja. Di rumah, seragam yang dipakai adalah seragam ayah. Bermain, bercerita dan membersamai tumbuh kembang kedua harta titipan Dia.

Bagaimanapun caranya, harus disempatkan di tengah tuntutan pekerjaan. Quality time. Biasanya kami lakukan di waktu malam dan pagi hari. Ketika istri berkesibukan pagi, saya yang handle anak-anak. Diajak bermain, dibawa jalan sekitar rumah

Saya selalu kagum pada setiap ayah yang bersedia mengantar-jemput anaknya sekolah (dengan menggendong tas hello Kitty si anak :D ),  menyuapi anaknya makan, menggendong, bermain dan kemudian tertawa karena si anak pipis di pelukannya. Well, hal-hal sederhana seperti itu tidaklah mencederai sisi maskulinmu. Namun justru menunjukkan kesiapanmu sebagai seorang ayah.

Maka janganlah marah bila anakmu pipis di pangkuanmu. Fase itu tak lama. Hanya sebentar. Ketika ia dewasa nanti, tentu kau sudah tak mau dipipiskannya kan? Hehehe.

***

Seorang pria bersarung, jalan-jalan pagi dengan satu anak di gendongan, satu lagi jalan di sisi. Terus disapa orang,

"Ngasuh, pak?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun