"Iya. Uni nonton Tayo dulu ya"
"Oh iya, ok , ok.."
Jelas terdengar tawa istri menjadi backsound di ujung sana, dan mengambil alih telfon.
"Maaf ya, Yah. Tayo lebih menarik ternyata, hahaha"
****
Sejujurnya, peristiwa ini memunculkan sedikit rasa senang di hati. Kenapa? Ah, ternyata anak-anak merindukan ayahnya. Istri? Tak usah ditanya lagi laaah,hehehe.
Dulu, tak terbayangkan oleh saya bagaimana caranya menjadi ayah. Bukan, maksudnya bukan tak tahu caranya biar punya anak. Yang saya bingungkan adalah, bagaimana berperan sebagai ayah bagi anak-anak nantinya? Sebagian pengalaman masa lalu membuat kelabu kesan saya akan figur ayah. Kemana akan mencontoh? I have no idea. Jadilah kemudian belajar mandiri. Membaca, mengamati dan mencontoh.
Yang saya perhatikan, para ayah yang sibuk seolah telah memilah petak sawahnya sendiri dalam rumah tangga, yakni cari uang. Urusan anak sepenuh hatinya diserahkan kepada ibu.Â
Bukannya saya mendukung pertukaran fungsi antara suami dan istri, namun bagi saya, peran ayah bukanlah hanya cari uang. Ketika seorang ayah sibuk mengejar dunia sehingga terabaikanlah perannya sebagai orang tua di rumah, maka masih layakkah memangku gelar sebagai ayah? Atau jangan-jangan cuma ngaku-ngaku Ayah?
Peran ayah yang kurang tereksplorasi ini bisa jadi karena tuntutan pekerjaan yang membuat si ayah jadi jarang di rumah. Bisa pula karena stigma di masyarakat, bahwa ngurus anak itu ya perannya ibu. Kalau para bapak ikut ngurus anak, takut istri itu.
Well, sebagai ayah dua anak usia tiga dan satu tahun, saya cuma mikir, peran dalam membesarkan anak itu harus dibagi antara saya dan istri. Tak mungkin ditengah kesibukannya mengurus rumah dan dua anak dengan segala kehebohannya, saya malah duduk santai nonton TV. Alamat buruk!