Siang itu awan hitam menyelimuti desa Suro Ilir kecamatan Ujan Mas kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu, hingga suasana dinginnya alam kembali menusuk hingga ke tulang. Tanpa menyuruti langkah ku tetap menelusuri lika-liku jalan hingga sampai pada lorong sempit dan menuju rumah berukuran 5 x 6 meter yang tegak berdiri dari rangkaian setengah pemanen dan setengahnya lagi dari papan. Pada waktu itu niat ku hanya ingin mengunjungi bayi mungil, Syifa Hariani, yang dilahirkan pada tanggal 14 November 2011 lalu. Ketika menatapnya, hati bergidik pilu bahkan beribu pertanyaan menyulut diantara hati dan pikiran, apakah ini takdir ataupu nasib yang mesti dialaminya, sehingga bayi mungil yang baru berumur sekitar 2 bulan itu mengharuskan kedua kakinya diamputasi. "Namanya Syifa Hariani yang dilahirkan sekitar pukul 10 malam" ujar ayahnya, Sudirman setelah mempersilahkan ku duduk dilantai beralaskan tikar. "Iya Pak, ku sudah mendengar sebelum datang kesini" kataku singkat. Sebelum kami melanjutkan percakapan, kutatap Syifa dari jarak sekitar 3 meter. Terlihat jelas paras putih Syifa dalam tidur yang lelap, yang juga kukira bahwa ia takkan menyadari apalagi mengerti apa yang terjadi atas dirinya. "Mengapa sampai harus seperti ini Pak," tiba-tiba kubertanya. Kemudian Sudirman langsung menjelaskan dengan sesekali tampak matanya berkaca-kaca, yang kuperkirakan jikalau ia tak bisa membayangkan bagaimana nasib putrinya kelak. "Proses kelahiran Syifa dibantu oleh dua bidan. Pada waktu lahir, fisik Syifa normal sebagaimana orang lain pada umumnya,” ujar Sudirman. Saat dilahirkan itulah Syifa mengalami gangguan pernafasan. Sehingga mesti dilarikan salah satu RSUD Curup agar mendapatkan perawatan yang lebih baik. "Sesampai di RSUD Curup, putri saya ini langsung dipasang oksigen dan infus. Selain itu juga disuntik pada bagian kaki dan dipunggung. Namun yang mengherankan saya, jarum suntik ataupun jarum inpus yang digunakan itu berukuran besar jika dibandingkan sewaktu putri saya dirujuk ke RSUD M. Yunus,” kenang Sudirman. Selama 5 hari dirawat di RSUD Curup, di kedua kaki putrinya muncul bintik-bintik hitam dan akhirnya seperti terpanggang. Setelah itu oleh pihak RSUD Curup putrinya dirujuk di RSUD M. Yunus Bengkulu, dengan alasan pihak RSUD Curup tidak mengetahui penyakit yang diderita Syifa. “Karena saya ini tidak mampu, akhirnya Syifa selama 4 hari hanya dibiarkan saja. Setelah mendapatkan uang pinjaman, barulah saya membawa anak saya ke RSUD M. Yunus,” tutur Sudirman dengan mata sedikit berkaca-kaca. Belum sempat Sudirman melanjutkan ceritanya, tiba-tiba Syifa terbangun dari tidur lelapnya, dan langsung digendong oleh ibunya, Sri Maryani. Diberikan belain kasih sayang dari sang ibu, Syifa hanya merengek sejenak. Dan kemudian Sudirman kembali melanjutkan ceritanya. 10 hari mendapat perawatan di RSUD M. Yunus, secara tiba-tiba dokter mengatakan kaki putrinya harus diamputasi. Tanpa memberikan keterangan terlebih dahulu anaknya itu sakit apa sehingga harus diamputasi. “Pada waktu akan diamputasi dokter hanya mengatakan bahwa Syifa harus diamputasi, anehnya lagi, dokter pertamanya mengatakan hanya 1 kaki, tapi kenyataannya 2 kaki anak saya yang diamputasi,” terang Sudirman. Akhirnya pada hari Kamis tanggal 15 Desember 2011, dengan ditangani 3 orang dokter spesialis, kedua kaki putrinya langsung diamputasi. Dan hingga saat ini apa penyakit yang diderita anaknya hingga harus diamputasi tidak pernah diberi tahu. “Kalau sekarang ini saya hanya bisa pasrah dengan keadaan. Karena kami ini orang tidak mampu dan tidak terlalu mengerti. Tapi yang jelas kami menyayangkan dengan tidak adanya kejelasan dari pihak rumah sakit dimana Syifa pernah dirawat tentang penyakit anak kami ini,” ungkapnya pasrah. Diakhir kisanya tiba-tiba Sudirman langsung bertanya kepadaku, "Apakah anak kami ini korban Mal Praktik". "Maaf Pak, sungguh itu diluar kemampuanku" ujarku spontan seraya terkejut. Tapi sesungguhnya kemungkinan atas pertanyaannya terhadapku masih tetap ada bahwa Syifa merupakan salah satu korban Mal Prakek. Tak berapa lama kemudian guyuran hujan mulai membasahi, rintik hujan berjatuhan ke tanah, seraya menyenandungkan kepedihan yang dialami Sudirman beserta istrinya, Sri Maryani. Seketika semuanya hening diantara suara hujan yang kian menggeram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H