Kejaksaan Negeri (Kejari) Nganjuk melakukan penyuluhan hukum di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Ubaidah, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, Kamis (17/11). Kegiatan ini diikuti 800-an para santri Ponpes Al Ubaidah.
Di ponpes yang bekerja sama dengan DPP LDII tersebut, Kepala Kejari Nganjuk Nophy Tennophero Suoth melaksanakan kegiatan Jaksa Masuk Pesantren yang dikemas dengan program Jamaah Sae, singkatan dari Jaksa Mucal (mengajar-red) Bab Hukum Dateng Santri Milenial, yang artinya jaksa mengajar tentang hukum kepada santri milenial.
Baca Juga: Jaksa Masuk Pesantren, Kejati DIY Edukasi Santri LDII Soal Hukum
"Program ini sebenarnya program dari Kejaksaan Agung, berupa jaksa masuk pesantren untuk menyosialisasikan hukum. Namun kami memperhatikan karakteristik lokal menjadi Jamaah Sae, di mana Kejaksaan Agung berbagi pengetahuan hukum kepada para santri milenial," ujarnya.
Nophy mengatakan, dengan adanya program ini Kejari dapat melakukan edukasi hukum kepada para santri di lingkungan pondok pesantren.
"Selama ini kami hanya menyasar sekolah-sekolah formal. Di lokal Nganjuk, kami melihat jumlah pondok-pondok pesantren sangat banyak sehingga mendorong kami untuk memberi penyuluhan hukum," imbuhnya.
Menurut Nophy, pihaknya terus melakukan sosialisasi "Kenali Hukum Hindari Hukum" dengan tujuan agar masyarakat terhindar dari pelanggaran hukum.
"Kenapa masyarakat bisa kena hukuman, karena mereka tidak tahu. Maka bila kenal hukum, maka ia akan menjauhi karena ada akibatnya," pungkasnya.
Menanggapi program Jamaah Sae, Pengasuh Ponpes Al Ubaidah, Habib Ubaidillah Al Hasany mengapresiasi dan menyambut baik kehadiran Kejari Nganjuk di pesantren Al Ubaidah.
"Bahkan bila tidak ada program Jaksa Masuk Pesantren, kami yang akan memohon dan mengundang Kejari untuk memberikan penyuluhan hukum di pondok pesantren kami," ujar Habib Ubaid.
Baca Juga: Â Kejaksaan Negeri Gelar Program "Jaksa Masuk Masjid" Beri Penyuluhan Hukum bagi Warga LDII Kotawaringin Timur
Menurut Habib Ubaid, jika masyarakat tidak memiliki literasi tentang hukum bisa berdampak tidak baik, "Ini jadi keprihatinan saya pribadi dan institusi," ujarnya.
Habib melanjutkan, saat santri menimba ilmu di pondok masih punya satu tujuan yaitu agar bermanfaat bagi manusia.
"Tetapi, saat mereka terjun di tengah-tengah masyarakat mereka bisa kena virus radikalisme dan intoleransi," paparnya.
Virus radikalisme dan intoleransi, menurutnya, lebih berbahaya dari  wabah Covid-19.
"Bahkan dunia belum menemukan vaksinnya. Alhamdulillah dengan adanya jaksa masuk pesantren sebagai upaya menolong anak-anak kami dari bencana besar tersebut," tegasnya.
Habi Ubaid meminta para santri memahami hukum dan sadar hukum serta mengerti hak dan kewajiban sebagai warga negara.
"Mengerti berarti tahu hukum, sadar hukum berarti mau melaksanakan sehingga terhindar dari hukuman, tidak melanggar aturan yang ada dan mengetahui hak-haknya mendapat perlakuan yang sama di depan hukum," tuturnya. Â
Di kesempatan yang sama, Jaksa Fungsional Ratrika Yuliana dan Kasi Intelijen Kejari Nganjuk Dicky Andi Firmansyah mengajak para santri agar berhati-hati dalam menyampaikan dakwahnya supaya tidak terkena hukum akibat ujaran kebencian dan intoleran.
Menurut Ratri manusia yang hidup di muka bumi ini tidak sama. Ia menegaskan, di Indonesia sendiri tidak semua manusia memeluk agama Islam.
"Jangan sampai ibadah justru menggangu orang lain, inilah pentingnya toleransi," ujarnya.
Ia menekankan, sikap toleransi harus dikedepankan dalam kehidupan untuk menghadapi perbedaan.
"Intoleransi terjadi karena seseorang atau sekelompok orang menolak praktik ibadah kelompok lain" jelasnya. Â
Ia menambahkan, mereka yang intoleran selalu menganggap dirinya paling benar dan yang lain pasti salah.
"Inilah pentingnya dakwah dengan damai, jangan sampai berdakwah namun membuat suasana masyarakat tidak tenang," pesan Ratri. (m)