Banda Aceh -Â Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Kota Semarang menggelar kegiatan Diskusi Panel Moderasi Beragama, di Hotel Grasia, Gajahmungkur, Kota Semarang, Sabtu (29/10).
Hadir dalam kegiatan tersebut, perwakilan Kemenag, MUI, PBNU, Muhammadiyah dan pengurus DPD LDII. Turut hadir juga sejumlah nara sumber memaparkan materi penguatan moderasi beragama.
Ketua DPD LDII Kota Semarang Suhindoyo mengatakan, diskusi ini merupakan salah satu upaya menjalin silaturahim antar elemen masyarakat untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
"Moderasi beragama merupakan pondasi dalam membangun Indonesia yang dapat menguatkan persatuan dan kesatuan di tengah masyarakat. Jadi keberagaman yang toleran ini adalah sebuah aset untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih baik lagi. Bukan malah menjadi kendala dalam pembangunan," ujar Suhindoyo.
Sementara itu, Sekda Kota Semarang, Iswar Aminuddin dalam sambutannya mengapresiasi diskusi moderasi beragama tersebut.
Ia menyebutkan, Kota Semarang merupakan salah satu kota yang memiliki masyarakat majemuk. Oleh karenanya, keberagaman yang ada harus dibungkus dengan toleransi agar persatuan dan kesatuan tetap utuh dan terjaga.
"Dengan demikian, hal ini menjadi salah satu modal dalam pembangunan Kota Semarang untuk menjadi lebih baik dan hebat lagi," terangnya.
Menanggapi hal itu, Ketua DPP LDII Bidang Hubungan Antar Lembaga Singgih Tri Sulistiyono mengatakan toleransi dan kesetaraan itu merupakan suatu kondisi yang harus ada dan dituntut dalam kehidupan pada era pascarevolusi industri 4.0.
"Mengapa itu merupakan suatu syarat mutlak, sebab kalau ketiadaan toleransi itu akan menimbulkan bibit konflik. Dan konflik di era kemajuan teknologi ini akan sangat membahayakan keberlangsungan hidup manusia," ujarnya.
Singgih menjelaskan, kecanggihan teknologi dapat memicu terjadinya konflik sosial yang dapat berujung pada kekerasan dan perang, "Yang akibatnya lebih berbahaya daripada yang pernah terjadi selama perang dunia pertama dan kedua," jelasnya.
Ia menekankan, sikap toleransi kesetaraan ini perlu dikembangkan melalui semangat intercultural relationship, dimana kelompok-kelompok yang ada di masyarakat yang mungkin memiliki identitas yang berbeda-beda.
"Tidak hanya hidup berdampingan secara damai tetapi tradisi, dialog, dan silaturahim dalam rangka untuk membangun kerjasama dalam mencapai tujuan bersama perlu diberdayakan dan dikembangkan, sehingga cita-cita masyarakat Indonesia dalam konteks masyarakat global yaitu membangun masyarakat yang adil, makmur, sejahtera kemudian kompak rukun gotong royong itu bisa terwujud dengan baik," ungkapnya.
Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro (Undip) itu juga mengatakan, dalam konteks keislaman toleransi menggunakan dasar nilai-nilai 'Lakum Dinukum Waliyadin' - bagimu agamamu dan bagiku agamaku - itu kaitannya dengan perbedaan agama antara Islam dan non Islam. Kemudian perbedaan internal di dalam Islam mungkin ada organisasi-organisasi kemasyarakatan yang berbeda.
"Yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bertoleransi adalah 'Walana akmaluna walakum akmalukum' bagi kami adalah amalan kami, bagi Anda sekalian silahkan beramal sesuai dengan keyakinan dan kemantapannya," tambahnya.
"Tapi kita tetap bekerjasama dalam konteks ukhuwah Islamiyah, ukhuwah watoniyah, ukhuwah basariyah, dengan mengedepankan hidup bersama dalam suatu suasana toleransi dan kesetaraan," tutupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H