Mohon tunggu...
Ibra Alfaroug
Ibra Alfaroug Mohon Tunggu... Petani - Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Buruh Tani (Buruh + Tani) di Tanah Milik Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Hujan bagi Boedi dan Pesan dari Sang Ibu

19 November 2022   23:46 Diperbarui: 20 November 2022   05:59 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan, pukul 07.00. Boedi bocah cilik berseragam merah putih. Memandang langit, hujan lagi, lagi, dan lagi! Celetuknya. Sambil berkemas, berangkat ke sekolah. 

Asoi hitam ia keluarkan, ia masukan sepatu beserta kaos kaki agar bisa ia pakai ketika sampai, ke dalam tas kasayangan bergambar toko kartun kesukaan.

Tak lupa jaket tebal ia kenahkan. Sandal jepit untuk dipakai sementara, dan akan dilepas jika telah tiba di sekolah dengan sepatu yang ia bawah dalam kantong asoi hitam.

Lalu, badan dibungkus mantel hujan dari plastik seharga sepuluh ribu, yang temukan diperjalanan saat kehujanan pulang sekolah beberapa hari yang lalu. Masih disimpan baik oleh Boedi.

Sambil pamitan, tak lupa payung hitam bergagang hitam ia bawah. Persiapan agar tak basah oleh hujan. 

Hujan oh hujan, mengapa kau turun tak kunjung ingin berhenti. Tak tahu-kah kau?  Aku ini berjalan kaki, melewati tujuh jembatan dari bambu, jalan setapak tanah perbukitan, lereng terjal dan sepi daerah perkebunan, oh hujan. Senandung do'a yang menghibur ini ku nyanyikan. Semoga hujan tak turun lagi saat aku pulang sekolah, nanti ya..

Hujan, pukul 11.00. Boedi bocah cilik berseragam merah putih. Duduk di kelas tiga, usai do'a jam terakhir, bubar pamitan dan pulang sekolah. Sepasang matanya menatap laman sekolah yang basah, suara keras tetesan hujan di atas genteng yang terdengar ribut.

Aduuh hujan lagi. Alamak, baru saja berhenti kok ngulang lagi. Akh, pulang. Kan, udah terbiasa mandi dengan air hujan. Ada mantel, payung, sandal jepit yang kubawa, kan gunanya kalau ada hujan iya kan, dalam hati. hihihi 

Hujan saat pulang sekolah tak kutakutkan, daripada hujan di waktu pagi. Aku takut terlambat. Biar jalan becek berlumpur, karena belum dibangun, aku tak apa-apa, asalkan tak ada longsor, jembatan rubuh, dan sampai rumah dengan kondisi selamat, amiin ia berteriak.

Hujan pukul 19.00. Biarlah, hujan mau turun. Aku mau tidur, bermimpi esok pagi langit akan cerah. Surya munculnya dengan senyumnya. Pepohonan menghijau, bunga-bunga bermekaran. Aku terlelap dalam damai yang hening, meski hujan lebat di luar sana. Dan ke sekolah dengan ceria.

Pesan Ibu;

"Hujan itu nikmat tuhan kepada semua makhlukNya, Bersyukurlah. Sungai masih mengalir, sawah-sawah tak kekeringan, aneka satwa bisa tertawa, pepohonan tumbuh subur. Bandingkan dengan saudara kita yang disana. Yang kekurangan air, karena hujan jarang bahkan tak pernah mau turun membasahi bumi mereka. Bersyukurlah."

"Hujan juga bisa seperti ujian, yakni ujian kesabaran. Serta cara berkaca diri, jika banjir, longsor, karena disebabkan hujan, artinya ada yang salah kita perbuatkan pada alam sehingga tak bersahabat lagi pada hujan."

Boedi, anggap hujan malam ini. Sebagai pengantar tidur yang indah. Dingin ini menjauhi kita dari rasa panasnya sebuah api keributan. Hening memberi arti ketenangan dan kedamaian, dan kejernihan dalam berpikir.

Biarlah hujan  diluar sana, tapi kita di dalam rumah ini, merasakan kehangatan, kebahagiaan, dari hati kita yang damai.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun