Keberadaan etnis di Nusantara yang beranekaragam dari Sabang sampai Merauke, selain perbedaan kultur, khasanah kebudayaan dan rupa warna yang unik dalam masyarakat di setiap daerah menunjukan bahwa betapa kaya dan eksotisnya Indonesia.
Namun pada sisi lain, perubahan masa dan perkembangan zaman juga sangat riskan mempengaruhi dan mengancam 'eksistensi'Â dari keberlangsungan dari karagaman budaya lokal di masyarakat.
Perubahan dalam artian pergeseran dari kebiasaan semula, seperti penggunaan tutur bahasa, bahasa sapaan dalam masyarakat. Tentunya berkonotasi lain dari perubahan tersebut, versi lama dengan versi yang baru.
Dengan ada adanya arus masuk 'trend' budaya global yang mendunia, setidaknya mulai berguyur menggeser cara pandang, prilaku dan tata bahasa pada suku Rejang.
Bahasa sapaan/panggilan yang dulu sering digunakan, terkontaminasi dan bertranformasi ke model bahasa/sapaan dengan gaya bahasa yang baru. Yang jauh dari bahasa semula, nama panggilan aslinya.
Sehingga penulis sering mengamati pemandangan dilingkungan sekitar tempat penulis. Adanya perubahan bahasa asli yang digunakan ke bahasa model baru.
Seperti kedua orangtua yang asli beretnis Rejang namun anak-anaknya tidak bisa berbahasa Rejang. Bahkan kedua orangtua seakan asing dan mulang jarang mengunakan bahasa asli mereka dalam aktivitas sehari secara non formal.
Jadi sangat wajar, mengapa anak-anak mereka tak bisa, mampu menguasai kecakapan berbahasa Rejang dari kedua orangtuanya.
Selain itu dengan adanya gaya bahasa yang baru dalam berkomunikasi di masyarakat yang tidak lagi biasa menggunakan bahasa Rejang yang asli, meski secara mayoritas dilingkungan dominan dengan orang-orang bersuku asli orang Rejang.
- Perubahan ini menurut asumsi, ada beberapa indikator perubahan dengan mulai berkurangnya penggunaan bahasa asli Rejang; Interaksi di lingkungan tempat tinggal yang multietnik, heterogen. Sehingga berkorelasi pada penggunaan bahasa sehari-sehari dalam bermasyarakat;
- Pernikahan beda etnis dari kedua orangtua yang berbeda suku. Ibu Rejang---Ayah Jawa, atau sebaliknya;
- Terbahwa-bawa akan kebiasaan kala menggunakan bahasa formal tempat kerja, pengalaman sewaktu hidup ditanah rantau, pengalaman menempuh pendidikan/kuliah ditanah seberang;
- Pengaruh dari efect dari penggunaan bahasa gaul yang lagi "ngetrend" berkembang;
Maka gelagat fenomena ini, mungkin saja di suatu saat nanti bahasa Rejang akan berangsur-angsur puna akan hilang karena asing bahasa Rejang di orang Rejang, khusus generasi muda.
Hal ini bisa disimak dalam masyarakat penulis yamg mulai jarang/langka menggunakannya sebagai komunikasi dalam berinteraksi sehari-hari.
Hal ini juga penulis tangkap dari analisa dosen penulis sewaktu bersua 'ngobrol bareng' dilaman kampus yang lalu, memaparkan suatu perubahan itu ada kaitannya akan karakteristik dari kultur yang ada dalam orang rejang sendiri, yakni sikap dan sifat terbukanya orang-orang Rejang akan etnik lain dalam masyarakat.
"katanya, sikap orang Rejang itu sangat terbuka, bisa menerima kehadiran orang-orang lain yang berbeda. Hal ini bisa dilihat dari pandangan politik misalnya dalam pemilihan kepala daerah/desa, tidak memperdulikan atau mempermasalahkan suku lain untuk memimpin, tidak ngotot harus orang Rejang yang memimpin. Dan condong suka meniru/menggunakan bahasa etnik lain dalam berinteraksi dilingkungan, berkomunikasi lain meskipun dia sendiri merupakan orang asli Rejang. Fakta lain katanya orang Rejang memiliki rasa toleransi yang besar, hal ini jarang/ tak pernah terjadi sebuah polemik dimasyarakat yang berujung adanya konflik yang serius dengan suku-suku lain."
Dari perubahan/pergeseran yang terjadi pada suku Rejang dalam prilaku dan kebiasaan, khususnya dalam penggunaan bahasa Rejang berkomunkasi. Maka salah satu perubahan dan pergeseran itu ada dalam bentuk sapaan/panggilan, sebutan untuk nama khusus dalam anggota keluarga.
Sama dengan sebutan nama suku-suku lain di nusantara, pastinya punya nama-nama sebutan.Â
Misalnya dalam etnik Jawa, nama sebutan Buk de/Pak De, Mas/Mbak, Buk Lek/ Pak Lek, Mas/Mbak dan sebagainya, Etnik Minang, Uda/Uni, Apak/Amak, Pak Etek, Batak, Opung, Boru, Tulang. Panggilan nama dalam sebutan suku di nusantara sangat menarik iya kan untuk tetap teraga dan dilestarikan tentunya.
Begitupun dalam suku Rejang, namun pada kasus ini yang menjadi perhatian penulis lebih tertuju pada pegeseran dan perubahan nama sebutan yang asli versi era dahulu yang kini seperti asing lagi terdengar ditelinga.Â
Seperti sebutan nama panggilan yang kerap berbeda dalam anggota keluarga suku Rejang, versi aslinya.
- Tamang, panggilan Tamang sebenarnya nama sapaan buat anggota keluarga yang statusnya berstatus sebagai suami dari Bibik, suami dari Minen. Berbeda dengan panggilan Mamak atau mamang. mamak sebutan untuk saudara laki-laki adik kandungnya Ayah atau Ibu. Sedang Mamang, panggilan laki-laki yang tidak memiliki hubungan keterkaitan dalam keluarga, hanya sapan adab kesopanan pada orang lain yang lebih tua dari kita.
- Minen sebutan nama dari anggota keluarga dari kaitan hubunganya pada saudara sepupu Ayah atau Ibu.
- Sebi'i, sebutan nama untuk nenek . Tapi saat ini tidak pernah terdengar lagi digunakan dalam suku Rejang. Hanya ada di daerah tertentu saja.
Inilah bentuk keprihatinan, akan eksistensi dari keakayaan intelektual dalam suku Rejang yang besar kemungkinan akan tergerus. Yang ditakutkanÂ
"Hilangnya Panggilan "Nama Sebutan" dalam Bahasa Rejang Terhadap Anggota Keluarga." Akan menjadi dongeng tidur, yang hilang dimakan perubahan zaman.
NAH, bagaimana didaerah tempat Kompasianer, adakah nama panggilan keluarga yang mengalami perubahan nama sebutan seperti tempat penulis?
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H