Awal Mula Masuk Jenis Kopi Robusta di Desa Penulis
Lahir dari kedua orangtua petani dan dibesarkan pada lingkungan masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani, adalah pengalaman yang tak pernah terlupakan, referensi dalam bertani oleh penulis. Yang diajarkan kedua orang tua, masyarakat yang konon diturunkan secara turun temurun, dari kebiasaan pendahulu hingga hingga sekarang.
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) tidak serta merta merubah kepercayaan yang dipercayai oleh masyarakat, dan cenderung masih relevan untuk diyakini oleh petani. Kultur yang dianggap masih memberikan pengaruh atau hubungan timbal balik kepada petani dan hasil pertanian.
Misalnya seperti penanggulangan hama, panen berlimpah, tata rupa yang mesti ditaati tika membuka lahan baru, perhitungan tanggal yang tepat memulai bertanam, menurut kepercayaan masyarakat, dan pantangan yang tidak boleh dilakukan. Realitas corak budaya disetiap daerah, berakar sebagai tradisi disetiap daerah.
Termasuk di daerah penulis, bagaimana orangtuaku sering berpesan bahwa tidak boleh membuka lahan baru tanpa ada do'a terlebih dahulu. Izin pamit kepada arwah para leluhur, makhluk astral, dan makhluk nyata lainnya, yang mungkin bisa jadi terganggu. Tidak boleh bercocoktanam bila bukan di bulannya, karena dapat mengurangi hasil tani dan mengundang bermacam-macam jenis penyakit pada tanaman.
Menurut cerita Bapak dan masyarakat didesa sebelum masuknya jenis tanaman Kopi pada awalnya mereka adalah petani Padi darat, berternak, dan bergantung pada hasil hutan.
Kurang lebih pada tahun 1970-an, masuknya orang-orang dari Bengkulu Selatan membawa perubahan di masyarakat. Memperkenalkan tanaman baru yakni Kopi berjenis Robusta.
Ikhwal dari tanaman Kopi, lambat laun merubah pola masyarakat bertani dengan berbondong-bondong mencoba belajar,meniru dan mencontoh petani-petani yang datang dari Bengkulu Selatan, kala itu. Dan berhasil merubah kehidupan menjadi lebih baik secara ekonomi, khususnya masyarakat didesa tempat tinggal penulis.
Belajar dari sosok mileneal inspiratif kompasianer bang GuidoTisera, petani dari Manggarai Flores NTT yang konten-konten artikel agitannya bertemakan dunia tani bertani, kultur masyarakat Flores. Sungguh menarik upaya memperkenalkan budaya masyarakat, menariknya lagi saudara Guido, berbagi ilmu dan pengalaman dalam soal persoalan pertanian, khususnya tanaman Cengkeh dan Porang.
Berdasarkan hal inilah (Sosok Guido) dan Topil Kompasiana 'Tradisi Bertani', penulis tertarik mengagit artikel receh kali ini berkaitan dengan petani didesa penulis yakni seputar status kepemilikan lahan dan pola memberikan upah. Yang berlaku di masyarakat, keluarga, dan penulis lakukan.
Berkebun Kopi dan Cara Lazim yang Diturunkan oleh Masyarakat di Desaku
Kabupaten Rejang Lebong adalah masyarakat yang mayoritas adalah petani sebagai pekerjaan utama, bergantung hidup dengan hasil pengolahan lahan pertanian.
Kebanyakan menjadi petani 'palawija'Â sayuran dan petani Kopi. Petani sayuran banyak ditemukan diderah Kecamatan Curup Timur, Selupu Rejang, dan menyebar secara tidak merata di setiap Kecamatan.
Sedangkan Petani Kopi dapat dijumpai disetiap kecamatan, tapi banyak ditemukan di Kecamatan Bermani Ulu, Bermani Ulu Raya, Padang Ulak Tanding, Sindang Beliti Ilir, Binduriang, Kota Padang, Sindang Dataran, dan Sindang Kelingi.
Menurut perkiraan data statsitik Kabupaten Rejang Lebong pengeluaran jumlah kopi pertahun kira-kira 16.462, 9 ton dengan luas area perkebunan kurang lebih dari 23.558 hektar yang menyebar di 15 kecamatan.
Sebagai daerah pegunungan, dingin, intensitas turunnya hujan yang tinggi, dan tanah yang subur menjadikan daerah Rejang Lebong sangat cocok dalam dunia pertanian, khususnya tanaman sayuran dan tanaman kopi. Meski, yang menjadi persoalan petani saat ini adalah harga panen yang terkadang tidak sesuai dengan harga pasaran, dan modal awal tentunya.
Adapun topik pilihan kompasiana yang berhubungan dengan kebiasaan (tradisi) bertani, ada beberapa hal yang ingin penulis sampaikan atau utarakan dalam artikel kali ini, semoga berkenan ya.
Status Kepemilikan Lahan
Status kepemilikan lahan yang penulis lihat, ada tiga cara yang lazim dilakukan oleh masyarakat.
- Mulai dari pepemilikan lahan sendiri,Â
- lahan cateran (kontrakan),Â
- lahan orang lain dengan perjanjian bagi hasil, menggarap lahan orang lain
- dan lahan berdasarkan karena adanya utang piutang yaitu tergadai/digadai oleh yang punya lahan
Yang menariknya adalah point 2 lahan cateran (kontrakan), bisa setahun, bisa dua tahun tergantung pada kesepakatan yang disepakati, sedangkan hasil tidak berhubungan lagi kepada sih pemilik/punya lahan asli kerena telah disewa oleh sih penggarap.
Sedangkan yang point tiga, adalah menggarap lahan punya orang lain, dengan perjanjian bagi hasil antara kedua belah pihak. Bisa bagi dua, tiga, empat tergantung akad.
Bisa juga ada pihak sebagai pemodal atau semuanya dikembalikan semua kepada penggarap. Model ini dalam istilah bahasa kami disebut dengan (parwan).
Point keempat, adalah lahan gadai. Di mana biasa terjadi karena adanya utang piutang yang punya asli lahan, lahan dijadikan sebagai jaminan. Sedangkan pengolahan lahan bisa yang menggadai,tentunya berbagi hasil kepada sih pemberi gadai.
Atau yang memberikan gadai langsung menggarap lahan tersebut. Keuntungan memiliki lahan gadai ialah, hasil panen tetap kita dapati, lahan gadaian bisa kembali kepada sih yang punya utang piutang jika ia melunasinya, jika tidak maka yang punya gadai berhak akan lahan tersebut.
Buruknya jika ada perjanjian rentang waktu dalam hal pengembalian utang bila terlewati maka lahan tersebut bisa dimiliki oleh orang lain.
Cara Memberi Upahan Ketika Panen Tiba
Panen yang berlimpah ruah adalah harapan bagi setiap petani, apalagi seiring (sesuai) dengan harga pasar yang lumayan tinggi. Senyum sumringah pastinya tersemat diwajah para petani, iya kan. Kebahagiaan dan suka cita bukan main rasanya.Â
Terkadang panen yang berjumlah besar (melimpah), justru terkadang petani sangat membutuhkan bantuan dari orang lain. Membantu untuk memanen, karena banyak dari para petani kewalahan dalam hal memetik hasil.
Untuk itu alternatif pilihan yakni bergotong royong saling bantu membantu sesama, seperti pola arisan bersifat bergantian antar sesama petani.
Selain itu dengan cara meminta jasa orang lain, dengan memberikan imbalan berupa upah (gaji) kepada mereka yang akan/mau bekerja membantu sesuai dengan harga (imbalan) pasaran yang berlaku.
Hal ini tidak saja terjadi pada saat panen saja loh, bahkan untuk urusan/saat penggarapan terkadang menggunakan sistem upahan untuk membantu dalam pengerjaan lahan.
Dalam hal ini ada dua hal penulis amati yang lazim terjadi ditempat tinggal penulis, baik yang memberi upah atau yang menerima upah.
- Pola borongan
- Pola langsung tunai kala telah kerja
Pola borongan biasanya dilakukan oleh yang menerima pekerjaan ini dan pemberi pekerjaan melakukan transaksi terlebih dahulu. Di mana kedua belah pihak bisa langsung mengambil imbalan atau memberikan imbalan langsung, atau setelah pekerjaan telah usai dikerjakan baru diberikan imbalan.
Sementara pola langsung tunai, bisa terjadi disaat pekerjaan sudah dikerjakan. Dan bersifat gaji harian.
Nah, inilah artikel penulis agit berdasarkan yang terjadi dimasyarakat penulis tentang status kepemilikan lahan dan pola upahan di masyarakat tempat tinggal, didesa.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H