Seperti pakaian kepala suku dengan pakaian masyarakat biasa, pemimpin dengan yang dipimpin tampak jelas berbeda.Â
Hal ini juga terjadi dalam agama pun juga begitu, tokoh agamawan di masyarakat sudah tentu pakaiannya berbeda dari masyarakat biasanya.
Karena kriteria setiap keyakinan berbeda pula dalam menetapkan standar pakaian versi keyakinan yang dianut masing-masing.
Namun kali ini, saya mengulik kata pakaian versi teori awamologi. Benarkah pakaian berkorelasi pada atas standar nilai seseorang? Dalam artian kualitas atau kepribadian seseorang.
Secara realistik, jawabannya bisa ya bisa juga tidak. Faktanya dapat diperhatikan dan dijumpai banyak yang berpakaian yang pantas sesuai dengan sih pemakainya. Dan juga ada yang sebaliknya.
Namun ada juga yang berpakaian apa adanya, bernampilan kucel juga banyak yang bagus, tapi ada juga yang tidak kalah jauh dari penampilannya.
Artinya, versiku pakaian bisa jadi kamuflase menutupi kekurangan diri atau justru alat untuk menunjukan siapa diri kita dibalik pakian yang kita pakaian.
Kembali pada sirat pakaian. Prihal yang penting kembali pada personnya. Jika dianggap pantas, percaya diri dan nyaman, laksanakeun. Menurutku, karepmu toh.
Kembali pada konteks pakaian seragam dalam dinas, yang diaggit kompasiana sebagai topik pilihan. Menarik penulis bernalaria tentang hakikat dari pakaian seragam bagi kita.
Pakaian Seragam Dinas dan Beban Moral
Mengunakan seragam dinas merupakan perwujudan dalam mengungkapkan indentitas seseorang, yang mana diketahui oleh khalayak umum dari pekerjaan apa juga sisi keahlianya yang menyertai akan pakaian dari seseorang.