Aksi berbondong-bondongnya pemboikotan massal yang sedang dialami artis/penyanyi dangdut Saiful Jamil atas kehadirannya dalam acara yang diadakan salah satu stasiun Televisi nasional. Merupakan cancel culture.
Cancel culture merupakan bentuk luapan emosi publik secara berjamaah kepada sosok 'publik figure' tertentu karena dipandang tidak sesuai dengan tata nilai dan norma yang berlaku atau dianut dimasyarakat.
Kehadiran Saiful Jamil sontak memicu kegeraman publik untuk memboikot secara ramai-ramai sebagai reaksi benci dan antipati selama ini masih membekas dalan memori publik. Aib memalukan dari pelaku yang sukar untuk dilupakan.
Apabila rasa benci telah tertanam mendengar namannya saja sudah pada ogah, apalagi melihat aksi dan bertemu langsung dengan orang tersebut, ya jijik dan muak pokoknya, celetuk emak-emak dan komentar pedas para netizen +62.
Dalam kasus ini sangat ketara bahwa kegeraman publik bukan tertuju kepada acara stasiun Televisinya loh. Namun justru pada pribadinya Saiful Jamil atas kasus asusila yang pernah menjerat namanya dalam perkara hukum. Iya toh.
Artinya kasus yang dulu pernah terjadi merupakan sabab musabab dari pandangan negativ yang melekat padanya. Seolah-olah jeratan aib bersifat 'laten' yang sukar terhapus.Â
Publik menolak lupa akan kejadian yang pernah terjadi walau telah berlalu sekian lama dan sih oknum sudah menjalani proses hukum dan bertobat.
Seribu kebaikan sangatlah mudah untuk dilupakan. Namun secuil saja kesalahan, meski beribu kebaikan telah dilakukan masih saja akan selalu dingat dan dikenang. Walau angin surga engkau tawarkan, sekali ternoda akan tetap ternoda, apalagi kesalahan dianggap fatal, aib teman.
Cancel culture 'boikot' sanksi sosial yang berlaku dimasyarakat adalah cermin bahwa kita disini menyepakati bahwa tindakan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan tata nilai dan norma, mestilah dibenci. Semua sepakat bahwa kita menolak yang namanya perbuatan yang tercelah, bukan.
Seharusnya sanksi ini memberikan efek jera bagi sih 'oknum' dan bisa menjadi pelajaran bagi yang lain untuk tidak berbuat sama seperti ini. Jika tidak mau mengalami nasib yang sama dihajar massa secara frontal, minimal akan dikucilkan, dicaci maki, pokok bully massa.
Contoh kasus dari pengakuan selebritis yang pernah dapat cibiran ketika aktingnya di film dan sinetron, berperan antagonis. Namun ketika berada tempat umum diperlakukan buruk oleh publik, padahal hanya peran loh. Tapi bagi publik lain cerita, ini fakta. Apalagi kejadian yang sebenarnya, akh abisslah diamuk massa.
Disamping itu berlarut-larutnya rasa benci kepada individu tertentu meluas sasarannya juga tidak bagus. Rasa tidak suka kepada seseorang tidak mesti membawah keluarga, etnis, agama, domisili tertentu jadi sasaran kebencian.
Dan kedewasaan cara pandang juga mesti seobjektif mungkin. Pendek kata manusia juga bisa berubah, belajar dari kesalahan untuk berubah menjadi pribadi baik.Â
Maka menjudge sepanjang hayat atas kekhilafan yang pernah seseorang lakukan juga tidak bagus. Kecuali jika tobat yang ia lakukan adalah tobat sambal, sobat. Berubah sesaat namun seiring waktu berbuat tercelah kembali, nah pribadi yang  seperti mesti tak hajar sampai modar nih orang hehe..
Lucunya di Negeri parodi, terseret kasus narkoba bisa jadi duta narkoba, tersandung kasus penistaan NKRI bisa jadi duta pancasila, terciduk kasus yang memalukan bisa jadi duta pariwisata, haduhhh, gimana nih  rek? Entar menghina Tuhan bisa jadi duta surga, mencaci presiden jadi jubirnya presiden entahlah.
Lalu apa hubungan cancel culture 'boikot' sebagai kekuatan gerakan massa?
Era digital sekarang, dunia media sosial adalah ajang publis dan bersosialita siapapun itu. Baik kalangan artis, politikus, publik figure maupun rakyat biasa terlibat didalamnya.
Dengan akses informasi tanpa batas, koneksi jejaring, letusan kebencian seringkali kali memanfaatkan media sosial. Pro dan kontra kerap muncul dalam setiap aktivitas jejaring.Â
Cancel culture era digital lebih dahsyat dari mobilisasi massa secara unjuk rasa jalanan bukan.Â
Hadirnya buzzer, hoakers, bisa menjadi sumbu provokatif menciptakan opini massa tuk bergerak, yang mampu menyerang sasaran yang akan dituju. Rival politik atau kompetitor bisnis misalnya.
Maka tak heran pengalangan massa dimedia sosial acap kali munculnya netizen barbar. Akibat peran media sosial yang ditunggangi kepentingan segelintir orang. Serta masih rendahnya daya filter masyarakat dalam bersikap dan menyikapi seliweran kontens yang bertebaran.
Nah, kasus Saiful Jamil setidaknya memberikan pelajaran lain buat publik figure dan siapapun itu. Bahwa cancel culture 'boikot' massa bisa berbahaya berdampak secara luas khusus citra seseorang, menaikan bahkan menjatuhkan pamor seseorang.
Khususnya buat para politikus menjelang pesta akbar 2024, pilpres, pileg dan pilkada nantinya. Jika cancel culture bisa terbentuk dan bergerak maka power tuk saling jatuh menjatuhkan atau saling menaikan bisa saja terjadi bukan. Keefisiensi penggalangan massa  melalui 'cancel culture'.
Apalagi jika selama ini dianggap kurang baik, terlibat skandal mesum video syur, korupsi uang rakyat, dan hal-hal yang dianggap tercelah oleh masyarakat. Dan bersiaplah menerima sanksi sosial itu dari Power "Cancel Culture" Sebagai Gerakan Massa!
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H