Kemerdekaan haruslah 100 persen tak boleh ditawar-tawar. Sebuah negara harus mandiri menguasai kekayaan alamnya dan mengelola negerinya tanpa ada intervensi asing.
Menurutku, Merdeka 100 persen Tan Malaka, ikhtiar kita menjadi pemain dinegeri kita sendiri, kita bukan selalu atau hanya menjadi penonton di tanah negeri sendiri. Hal ini senada pada tujuan Undang-undang 45, relevan pada pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 kan.
Kita mesti ambil barisan untuk tunjuk siapa kita. Bahwa kita bisa sama tinggi tegak sama dengan mereka. Barangkali inilah Merdeka sesungguhnya versi awamologiku. Partisipan untuk merdeka dan mengisi kemerdekaan untuk masa sekarang.
Dalam artikel remeh temeh kali ini, penulis mencoba mengaitkan konsep merdeka 100 persen Tan Malaka dengan dunia pertanian kita. Berdasarkan opini belaka pada fakta didepan mata yang selalu tak habis pikir dikepala penulis.
Tanah Subur, Namun Bangsa belum Juga Makmur!
Dikenal sebagai negara agraris, namun dunia tani kita masih saja ironis. Piye khabare...
Mengutip akronim dengan kata berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) dan Petani (penyanggah tatanan negara Indonesia) dari Presiden Soekarno.Â
Ini relevan untuk bangsa kita. Dalam artian tidak tergantung kepada siapa pun, dan kita mampu untuk menjadi bangsa yang mandiri. Nah, inilah prihal menarik danotentik versiku untuk disimak, dikupas, dikubak, dan ditindak?
Mengapa?Â
Negara kita dikenal dengan negara pertanian Kalung zamrud khatulistiwa. Tanah yang kaya akan sumber daya alam, bumi yang subur. Namun petani belum menunjukan taringnya sebagai penyanggah tatanan itu.Â
Petani masih belum mampu mewujudkan swasembada pangan. Jangankan ekspor hasil tani pada bangsa lain, untuk kebutuhan bangsa sendiri masih saja belum tercukupi, bukan.
Prihal impor, kekurangan pasokan pangan ditanah air, masih bergantung pada impor negara luar. Ini fakta, seperti impor beras, bawang, kedelai dan sebagainya. Jelas menyatakan bahwa kita belum membuktikan julukan dulu, sebagai bangsa agraris.